Hiwar

KH Hafidz Abdurrahman, MA: Khilafah itu Mempersatukan Umat

Pengantar Redaksi:

Banyak tuduhan miring yang terus diulang-ulang oleh para pihak yang anti Khilafah. Dari mulai Khilafah utopis, bertentangan dengan kesepakan para pendiri bangsa, memecah-belah, hingga ragam tuduhan lain yang tentu ngawur.

Untuk menepis semua tuduhan ngawur tersebut, kali ini Redaksi kembali mewawancarai KH Hafidz Abdurrahman, MA. Berikut hasil wawancaranya.

 

Banyak orang menganggap bahwa penegakan Khilafah itu utopis. Bagaimana menurut Kiai?

Begini. Menegakkan Khilafah adalah kewajiban yang dinyatakan oleh nas syariah. Tidak ada satu pun kewajiban yang dinyatakan oleh nas syariah itu utopis. Semua hukum syariah itu bersifat praktis dan aplikatif. Pernyataan bahwa menegakkan kembali Khilafah itu utopis adalah tuduhan serius terhadap wahyu, baik al-Quran maupun as-Sunnah.

 

Ada juga yang mengatakan Khilafah itu ideologi kriminal. Benarkah demikian?

Menuduh Khilafah sebagai ideologi kriminal adalah bentuk kegagalan, kesalahan dan ketidakpahaman dalam menjangkau jutaan literasi dalam khazanah Islam.

Kegagalan, kesalahan dan ketidakpahaman ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, informasi awal tentang Khilafah sebagai pemikiran, hukum dan peradaban Islam yang tidak memadai, tidak pada levelnya atau ghayra mustawaha. Bahkan informasi awal tentang Khilafah yang dimiliki salah sehingga kesimpulannya pun salah. Kedua, tidak bisa memahami atau salah memahami fakta pemikiran, hukum dan peradaban Khilafah. Ketiga, tidak bisa memahami, atau salah memahami gambaran tentang teks dan konteks atau dall wa madlûl-nya.

Karena ketiga faktor inilah, kesimpulan seseorang tentang Khilafah itu pun salah. Akibatnya, Khilafah sebagai pemikiran, hukum dan peradaban Islam yang agung, yang seharusnya diambil, malah dimusuhi dan dikriminalisasi.

Tuduhan Khilafah sebagai ideologi kriminal jelas ngawur. Menunjukkan kedunguan yang luar biasa fatal. Misalnya, ada yang memberikan justifikasi, “Buktinya, lihat apa yang terjadi di Suriah hari ini?” Tuduhan dengan justifikasi seperti justru menunjukkan kedunguan kuadrat. Faktanya, apa yang terjadi di Suriah bukan karena Khilafah. Kalau ada klaim, apa yang terjadi di Suriah itu karena ISIS, dan ISIS mengklaim sebagai Khilafah, bukankah ini bukti? Kita jawab, menyamakan ISIS dengan Khilafah juga bentuk kedunguan berikutnya. Pasalnya, antara ISIS dan Khilafah adalah dua fakta yang berbeda meski ISIS mengklaim Khilafah.

Di sini jelas, memahami Khilafah sebagai pemikiran, hukum dan peradaban Islam harus presisi.

 

Bagaimana dengan tuduhan Khilafah sebagai pemecah-belah bangsa?

Menuduh Khilafah sebagai pemecah-belah bangsa juga tuduhan ngawur dan dungu.

Bagaimana mungkin Khilafah memecah-belah. Secara faktual, Khilafah telah mempersatukan seluruh bangsa Muslim di dunia, lebih dari 2/3 dunia, 3 benua. Di bawah naungan Khilafah ribuan bahkan ratusan ribu suku dan kabilah hidup selama 14 abad dengan damai, rukun, dengan toleransi yang luar biasa/ Belum pernah ada dalam sejarah peradaban mana pun, saat semuanya bersatu, kecuali di bawah naungan Khilafah. Lalu Khilafah dituduh memecah-belah bangsa? Jelas, dungu luar biasa.

Perpecahan dunia Islam dan bangsa-bangsa Muslim saat ini justru karena ketiadaan Khilafah yang menyatukan mereka. Meski agama mereka sama, kesamaan agama mereka tidak bisa menyatukan mereka menjadi satu umat. Selain karena ketiadaan Khilafah, hal itu juga akibat bercokolnya pemikiran, hukum dan peradaban non-Islam seperti nasionalisme, nation state dan primordialisme kesukuan. Semua itu menghalangi bangsa-bangsa Muslim untuk bersatu.

 

Ada pula tuduhan lain, bahwa Khilafah bertentangan dengan kesepakatan para pendiri bangsa yang telah menyepakati negara-bangsa dalam wujud NKRI. Bagaimana tanggapan Kiai?

Kesepakatan tersebut sesungguhnya merupakan masalah politik yang dinamis. Tidak statis. Bisa berubah, sesuai dengan tuntutan zaman. Jika ada yang mengatakan bahwa Khilafah bertentangan dengan kesepakatan, pertanyaannya, bagaimana kalau sekarang mayoritas umat Islam di negeri ini sepakat dengan Khilafah, lalu ada minoritas yang tidak sepakat, masihkah Khilafah dianggap menyalahi kesepakatan? Jelas tidak.

Selain itu, Khilafah adalah Negara Islam yang dinyatakan oleh Allah, juga dinyatakan dan dipraktikkan oleh Nabi saw selama 24 jam x 365 hari x 10 tahun, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat turun-temurun hingga dihancurkan oleh konspirasi kaum Kafir, Inggris, Prancis dan Yahudi 14 abad kemudian. Jadi, Khilafah bukan hanya hukum Islam yang wajib, tetapi juga qath’i, baik dari sisi hukum maupun fakta.

Menyandingkan Khilafah, sebagai hukum yang qath’i, apalagi membenturkannya dengan kesepakatan politik yang temporer, berubah dan kondisional, selain tidak tepat, juga jelas tidak level.

 

Ada juga yang mempertanyakan, adakah jaminan bahwa jika tegak, Khilafah bakal mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran?

Jaminannya ada pada Islam yang dijamin oleh Allah SWT sebagai rahmat[an] li al-‘âlamîn. Karena itu kita harus yakin. Memang benar, Islam sebagai rahmat[an] li al-‘âlamîn merupakan jaminan Allah. Namun, selain itu ada faktor manusia, yang boleh jadi melakukan kesalahan atau human error. Karena itu selain jaminan pertama, yaitu sistem Islam itu sendiri, dibutuhkan jaminan kedua, yaitu SDM yang akan menjalankan sistem Islam yang agung ini.

Di sinilah perlunya menyiapkan SDM, sebagaimana Nabi saw. menyiapkan generasi sahabat. Kesadaran inilah yang saat ini tumbuh di kalangan umat Islam, bukan hanya pada Hizbut Tahrir. Dengan adanya dua faktor ini, SDM yang memiliki kualitas sahabat dan sistem Islam yang agung, kesejahteraan dan kemakmuran itu, dengan izin Allah, akan terwujud dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Sejarah yang dicetak oleh ‘Umar bin al-Khaththab, yang mampu menghilangkan kemiskinan di Hijaz hanya dalam hitungan tahun, diikuti oleh cucunya, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, yang berhasil mewujudkan kemakmuran di seluruh wilayah Khilafah hanya dalam waktu 2 tahun, akan terulang kembali.

 

Sebetulnya siapa yang merekayasa tuduhan-tuduhan ngawur tersebut? Apa pula agenda di balik itu, Kiai?

Yang jelas musuh-musuh Islam. Siapa mereka? Pertama, negara-negara kafir penjajah. Kedua, agen-agen mereka yang tersebar di seluruh dunia Islam, baik yang berbaju penguasa, politikus, ulama, budayawan, ekonom, organisasi, partai, LSM, maupun media massa, dan lain-lain.

Agenda mereka satu, yaitu melanggengkan penjajahan di Dunia Islam. Caranya dengan menyesatkan umat Islam dari pemikiran, hukum dan peradaban Islam yang agung. Akibatnya, umat Islam memusuhi apa yang seharusnya diambil, dan mengambil apa yang seharusnya mereka musuhi.

 

Alasan yang skeptis terhadap perjuangan Khilafah adalah sulitnya umat untuk bersatu. Bagaimana pandangan Kiai?

Mudah atau tidaknya persatuan umat ini dipengaruhi oleh persepsi dan pemahaman mereka. Padahal persatuan umat ini merupakan masalah penting dan wajib. Karena itu dakwah Islam harus diarahkan untuk mewujudkan persatuan ini. Caranya adalah dengan mengubah pemikiran dan persepsi yang salah, lalu membentuk pemikiran dan persepsi yang benar tentang persatuan umat. Hanya saja, memang ini dibutuhkan kerja keras, bersama-sama, dan tidak bisa sendiri.

Mengenai persatuan umat Islam itu sendiri, harus diklasifikasikan pada dua tataran. Pertama, tataran organisasi, kelompok, partai, termasuk suku dan bangsa. Perbedaan pada level ini jelas faktual karena perbedaan identitas masing-masing. Namun demikian, tidak berarti menyatukan mereka dalam satu umat menjadi sulit, apalagi mustahil. Jelas tidak. Buktinya, apa yang dilakukan Nabi saw. di Madinah. Karena itu, pada tataran kedua, yaitu tataran negara, maka organisasi, kelompok, partai, termasuk suku dan bangsa, yang berbeda-beda itu jelas bisa disatukan oleh negara.

Karena itu pula, dua fakta ini harus dipahami dengan presisi, dan diposisikan pada posisi yang berbeda. Tidak dicampuraduk satu sama lain sehingga menyebabkan kesalahan yang berujung pada sikap skeptis itu.

 

Bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa sulit menegakkan Khilafah karena banyaknya kelompok Islam dan mazhab?

Banyaknya kelompok Islam dan mazhab yang berbeda bukan penghalang tegaknya Khilafah. Justru sebaliknya, perbedaan tersebut bisa saling melengkapi dan mengisi. Yang penting, masing-masing kelompok Islam dan mazhab yang berbeda itu memiliki kesadaran yang sama tentang wajibnya mengembalikan Khilafah.

Ini dibuktikan dalam sejarah Islam pada masa lalu. Semua mazhab dalam Islam sepakat bahwa menegakkan dan menjaga Khilafah hukumnya wajib. Mereka semuanya bahu-membahu untuk menegakkan dan menjaga Khilafah ini.

 

Jadi, apakah Khilafah pasti tegak?

Tentu. Apa yang dijanjikan oleh itu pasti. Tidak ada keraguan. Pertama, karena kembalinya Khilafah telah dinyatakan oleh wahyu, baik al-Quran maupun as-Sunnah.

Kedua, Khilafah adalah fakta sejarah dan peradaban umat Islam yang agung. Jika sebelumnya umat Islam belum mempunyai sejarah dengan Khilafah, dan akhirnya sejarah Khilafah yang agung ini terukir dengan tintas emas, maka mengulang sejarah agung yang pernah ada tentu lebih mudah.

Ketiga, adanya umat Islam yang sama, yang masih memiliki akidah, dan Islam yang sama, meski dipenuhi dengan tumpukan sampah. Jika sampah-sampah ini dibersihkan, maka umat ini akan kembali lagi, sebagaimana mereka pada masa lalu.

Keempat, adanya kelompok Islam yang serius memperjuangkan Khilafah, yang telah berhasil mendiagnosa problematika umat Islam saat ini, dan telah mengetahui dan memiliki solusi yang dibutuhkan, kemudian bersungguh-sungguh mendidik dan menyiapkan mereka untuk menjadi umat terbaik.

Kelima, berbagai krisis yang ditimbulkan oleh ideologi dan sistem kufur terhadap kehidupan mereka di seluruh dunia, yang berhasil membangunkan dan menyadarkan mereka.

Semua itu merupakan alasan yang meyakinkan kita, bahwa kembalinya Khilafah hanya soal waktu.

 

Bagaimana seharusnya sikap ulama dan umat terhadap perjuangan penegakan Khilafah ini?

Para ulama tentu wajib berjuang untuk menegakkan Khilafah di garda terdepan. Bukan semata-semata karena Khilafah wajib diperjuangkan, tetapi Khilafah jugalah yang akan menjadikan ilmu mereka menjadi ilmu yang bermanfaat dan bisa diterapkan dalam kehidupan. Sebab hanya Khilafah yang bisa memastikan, bahwa Islam secara kâffah, yang selama ini diajarkan di madrasah, pesantren dan masjid itu bisa diwujudkan.

Dengan kembalinya Khilafah dan diterapkannya ilmu yang mereka ajarkan, itu artinya, mereka akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Sebab pahala ilmu mereka akan terus mengalir meski mereka telah meninggalkan dunia yang fana ini. Tak hanya itu, mereka pun didoakan oleh para malaikat, seluruh penghuni langit, bumi, bahkan ikan di laut pun memanjatkan doa untuk mereka. Mereka dipuji oleh Nabi, bahkan dianugerahi kebaikan melebihi dunia dan seisinya.

Ini bukan hanya berlaku bagi ulama, tetapi siapapun yang memperjuangkan kewajiban ini, termasuk umat.

 

Lalu di mana peran penting HT dalam memperjuangkan Khilafah?

Peran penting HT adalah menjadi kelompok Islam yang serius memperjuangkan Khilafah. HT telah berhasil mendiagnosis problematika umat Islam saat ini, sekaligus telah mengetahui dan memiliki solusi yang dibutuhkan, kemudian bersungguh-sungguh mendidik dan menyiapkan mereka untuk menjadi umat terbaik.

HTI mempunyai solusi yang dirumuskan dan dihasilkan oleh pemikir, politikus, pemimpin dan mujtahid mutlak. Solusi inilah yang diyakini, diemban dan ditawarkan kepada umat, tanpa kenal lelah, siang dan malam.

Solusi ini berupa konsep yang menyeluruh tentang berbagai sistem, baik politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, peradilan, sanksi hukum dan sebagainya. Tak sekadar memberikan dan menawarkan solusi, HT juga telah mengetahui road map [peta jalan], bagaimana mewujudkannya dalam kehidupan.

Tak hanya itu, HT juga sangat konsisten memegang teguh semuanya itu meski harus menghadapi berbagai onak dan duri.

 

Banyak rezim saat ini diktator dan represif, seperti di Suriah dan Mesir. Ini tentu sangat menyulitkan bagi perjuangan ini. Bagaimana menyikapinya?

Pertama, kekuasaan politik di dunia ini tidak ada yang abadi. Semua ada umurnya. Keabadian itu hanya milik Allah SWT. Karena itu, apa yang dilakukan karena Allah harus bersandar pada Allah, bukan kepada makhluk. Di sinilah, pentingnya menghujamkan makna dan mafhûm, “HasbunaLlâh wa Ni’ma al-Wakîl, Ni’ma al-Mawla wa Ni’ma an-Nashîr, wa Lâ Hawla wa Lâ Quwwata illâ BiLlâhi al-‘Aliyyi al-‘Azhîm.”

Kedua, perjuangan ini hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah. Mengurus urusan Allah, bukan yang lain. Jika kita menjalankan, dan mengurus urusan Allah, maka Allah akan mengurus urusan kita, dan urusan-Nya. Kita hanya melakukan apa yang harus kita lakukan. Allah yang Maha Mengurus semuanya. Lihatlah, ketika Khilafah, Rayah, Liwa’, dan HT sampai pada level seperti saat ini! Siapa yang menyampaikan, padahal kriminalisasi, persekusi dan pelarangan dilakukan oleh rezim begitu sistemik, masif dan brutal? Jawabannya, satu. Allah SWT!

Karena itu, yang ketiga, yang dibutuhkan adalah bersabar, istiqamah dan ikhlas, semata-mata karena Allah. Terus berjuang hingga Allah memenangkan urusan-Nya, atau memanggil kita untuk kembali. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − 15 =

Back to top button