Hiwar

Ust. Ismail Yusanto: Tambang Wajib Dikelola Negara

Pengantar Redaksi:

Tiba-tiba kita dihebohkan oleh berita tentang tambang emas Blok Wabu, di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Cadangan emas di blok ini diperkirakan jauh lebh besar dari yang dikuasai PT Freeport, juga di Papua.

Mengapa berita tentang Blok Wabu ini tiba-tiba mencuat? Apa latar belakangnya? Betulkah ada keterlibatan pihak swasta yang bernafsu ingin menguasai blok kaya emas itu? Bagaimana cerita sebenarnya? Bagaimana pula sebetulnya pengelolaan tambang, khususnya tambang emas, sesuai syariah Islam? Bolehkah barang-barang tambang dikelola oleh swasta? Ataukah harus oleh Negara?

Itulah beberapa hal yang ditanyakan kepada Ustadz M. Ismail Yusanto dalam wawancara dengan Redaksi kali ini.

 

Ustadz, apa yang sebenarnya terjadi di Blok Wabu Intan Jaya, kok sampai segitu heboh?

Ada usaha dari pihak swasta untuk mengambil alih atau setidaknya mau ikut ambil bagian dalam eksploitasi blok kaya  emas, yang disebut Blok Wabu, di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Andai tidak usaha atau gerakan dari pihak swasta itu, atau ada usaha tetapi tidak ketahuan siapapun hingga tidak diangkat dalam media seperti yang saat ini terjadi, mungkin tidak akan seramai sekarang.

 

Mengapa mereka mau ambil alih. Seberapa besar sih potensi kekayaan Blok Wabu?

Sangat besar. Lebih besar dari yang ditemukan Freeport. Blok ini, sekitar 40 kilometer di sebelah utara Grasberg yang saat dikelola PT Freeport Indonesia, dulunya juga masuk dalam konsesi PT Freeport Indonesia berdasarkan Kontrak Karya (KK) 1991. Hasil survei eksplorasi yang dilakukan oleh Freeport, menunjukkan potensi emas di blok itu mencapai 8,1 juta troy ounce. Nilainya lebih dari Rp 200 triliun. Rata-rata dalam satu ton batu didapat sekitar 2,17 gram emas. Bahkan, di beberapa spot, ada yang sampai 72 gram. Jelas lebih besar dari kadar emas di tambang Grasberg Freeport yang hanya mengandung rata-rata 1 gram emas dalam 1 ton batuan. Tapi ingat, itu baru data dari kegiatan eksplorasi awal. Maksudnya, sangat boleh jadi kandungan sesungguhnya lebih besar dari yang diketahui sekarang, atau didapat sumber baru di blok itu yang lebih besar, seperti yang dialami oleh Freeport saat mengeksploitasi blok Grasberg.

Meski memiliki cadangan emas yang menggiurkan, Freeport yang sudah mengeluarkan lebih dari 170 juta USD untuk kegiatan eksplorasi di sana, terpaksa harus melepaskan blok ini kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, sebagai syarat guna mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Blok Grasberg  yang ditandatangani pada 21 September 2018.

Hingga sekarang belum jelas siapa yang bakal mengelola blok itu. Padahal sebelumnya pada 2020 lalu, PT Aneka Tambang Tbk atau Antam pernah diminta Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengelola Blok Wabu. Antam juga telah menyatakan kesiapannya. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan soal ini, hingga akhirnya terjadilah kehebohan sehubungan dengan bakal masuknya pihak swasta ke sana.

 

Siapa yang dimaksud pihak swasta itu?

Dalam wawancara antara Haris Azhar dan Fatia Maulidiawati dari Kontras di video yang disiarkan melalui youtube di Haris Azhar Channel, Fatia menyebut pihak swasta itu adalah PT Tobacom Del Mandiri, anak usaha Toba Sejahtera Group yang sahamnya dimiliki oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Katanya, “PT Tobacom Del Mandiri ini direkturnya adalah purnawirawan TNI namanya Paulus Prananto. Kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita. Namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), The Lord, Lord Luhut. Jadi Luhut bisa dibilang bermain dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini.”

 

Apakah ada hubungannya dengan penguasa dan pemilik modal?

Di situ menariknya. Kita semua  tahu siapa LBP itu, dan apa relasinya dengan orang nomer satu di negeri ini. Mungkinkah ia bergerak ke sana bila tidak yakin bakal berhasil? Mungkinkah juga ia berusaha untuk mengambil alih blok kaya emas itu bila tidak memiliki kekuatan besar, utamanya kekuatan dana dan dukungan politik? Mungkinkan semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan Presiden?

 

Apa di balik perseteruan antara LBP dengan Haris Azhar? Perseteruan antar pemilik modal untuk menguasai blok Wabu tersebut semata atau ada hal lain?

Kita tidak tahu apakah ada perseteruan antar para pemilik modal di sana. Yang terbaca dari permukaan sih hanya satu pihak saja, dalam hal ini yang mempunyai link ke Toba grup itu. Namun, sangat mungkin ada pihak lain yang tak rela blok itu jatuh kepada Toba, lalu diributin, karena kita tahu di antara para kapitalis juga terjadi persaingan sengit. Meski tidak jarang di antara mereka terjadi kolaborasi, utamanya saat ada kepentingan bersama, misalnya saat hendak mengegolkan sebuah regulasi terkait bisnis mereka.

 

Apakah para pemilik modal mempunyai pola yang sama dalam menguasai SDA di Indonesia?

Iya, betul. Intinya, dengan kekuatan modalnya itu, mereka ‘membeli ijin’ dan ‘membeli regulasi’ guna meraup untung besar dari SDA negeri ini yang memang melimpah. Contoh paling nyata adalah lahirnya UU Minerba 2020 dan UU Omnibus Law. Tanpa banyak diketahui publik,  sesaat setelah penandatanganan UU Omnibus Law oleh Presiden Jokowi pada 2 November 2020, Pemerintah memberikan perpanjangan usaha kepada PT Arutmin Indonesia yang pada 1 November 2020 lalu habis masa kontraknya. Dengan perpanjangan ini, mereka mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan luasan 57.107 hektar (setara 3 kali luas kota Bandung).

Sama dengan sebelumnya. Perpanjangan ini seolah mengkonfirmasi apa yang sebelumnya menjadi kecurigaan besar publik, bahwa UU Omnibus dibuat tak lain untuk kepentingan oligarki. Utamanya pemilik tambang batubara besar. Hanya saja, yang publik tidak terlalu menyadari adalah, bergegasnya pengesahan UU itu ternyata terkait erat dengan bakal habisnya salah satu dari 7 pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), yakni PT Arutmin pada 1 November itu.

Sebelumnya, melalui UU Minerba yang baru, khususnya Pasal 169 a, b dan c,  pemilik PKP2B memang telah mendapatkan kepastian perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi dengan luasan semula. Bila mengacu pada ketentuan sebelumya, yakni pasal 63 dan 75 UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus dikembalikan kepada negara sebagai wilayah pencadangan negara atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD. Namun, ketentuan yang lebih mengedepankan kepentingan publik ini justru dihapus, dan diganti dengan ketentuan baru tadi, yang sangat jelas lebih mengutamakan pemilik PKP2B, yang tak lain adalah para pengusaha besar, yang hampir seluruhnya terhubung dengan kekuatan politik mutakhir negeri ini.

Hebatnya, dalam Pasal 169 a itu, perpanjangan izin bahkan diberikan secara otomatis, nyaris tanpa evaluasi, karena dibubuhi kata “diberikan jaminan”. Padahal pada aturan sebelumnya hanya menggunakan diksi “dapat diperpanjang”. Pasal 169 a itu juga memberi jangka waktu 10 tahun untuk 2 kali perpanjangan dan 2 kali lagi, sehingga total masa konsesi bisa mencapai 40 tahun. Pada Pasal 169 b, perpanjangan bahkan dapat dilakukan paling 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Dalam aturan sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan paling cepat dilakukan 2 tahun sebelum kontrak berakhir.

Ketentuan ini tentu saja sangat aneh. Bagaimana bisa DPR yang hakikatnya adalah wakil rakyat justru bertindak merugikan rakyat yang mereka wakili itu. Padahal potensi tambang yang dikuasai oleh 7 (tujuh) kontraktor PKP2B yang luasnya mencapai 370.775 hektare itu sangatlah besar.

Menurut keterangan Dirjen Minerba sendiri, sumberdaya dan cadangan batubara di wilayah itu mencapai 20,7 miliar ton dan 3,17 miliar ton. Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata adalah 4.000 kcal/kg GAR, nilai HBA US$75/ton dan nilai tukar US$/Rp=Rp14.000, maka nilai aset itu adalah Rp 13.730 triliun. Adapun nilai aset cadangan batu bara adalah Rp 2.102 triliun. Bukankah dengan potensi sebesar itu, bila dikelola oleh negara, hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat? Mengapa malah diserahkan kepada perusahaan swasta?

Bukan hanya perpanjangan, pemilik PKP2B melalui UU Omnibus, juga mendapatkan tambahan keistimewaan. Dalam Penambahan pasal 128 A dalam UU Omnibus Cipta Kerja, dinyatakan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara dapat diberi perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara, yakni berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).

Ketentuan ini jelas sekali bakal memberikan keuntungan amat besar bagi perusahaan pertambangan yang selain sudah menguasai sektor hulu sekaligus hilir batubara seperti Gasifikasi Batubara dan PLTU Batubara.

Kini menjadi sangat jelas, semua proses dan kelit kelindan lahirnya UU Minerba, UU Omnibus Cipta Kerja, juga Perppu Covid-19, tak lain adalah demi memuluskan kepentingan oligarki pemilik modal dalam penguasaan SDA di negeri ini. Termasuk mengapa semua dibuat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata karena ada perusahaan yang bakal segera habis masa kontraknya.

 

Bagaimana sebenarnya pandangan Islam dalam pengelolaa  SDA?

Sumberdaya alam, tambang emas di antaranya, yang kandungannya sangat banyak, dalam pandangan Islam adalah milik rakyat (kepemilikan umum atau milkiyah ‘ammah). Semua itu wajib dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.

Pengertian ini didasarkan pada hadits riwayat Tirmidzi yang menceritakan bahwa Abyadh bin Hammal telah meminta kepada Rasul saw. untuk mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. yang memang dermawan memenuhi permintaan itu. Namun kemudian, beliau diingatkan oleh Sahabat yang lain, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepada”dia? Sungguh engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (al-ma’u al-‘iddu).” Beliau kemudian bersabda, “(Kalau begitu) tariklah kembali tambang tersebut dari dia.”

Al-Ma’u al-‘iddu atau air yang mengalir adalah perlambang dari betapa banyak jumlah garam yang ada di ladang garam itu.Tatkala beliau tahu bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang jumlahnya sangat banyak,  maka beliau mencabut kembali pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.

Dari hadits di atas tampak jelas bahwa ‘illat larangan untuk tidak memberikan tambang garam tersebut adalah karena jumlahnya sangat banyak, digambarkan bagai air yang terus mengalir.

 

Membaca heboh atau sengkarut rencana pengelolaan Blok Wabu ini, pelajaran apa yang bisa dapatkan?

Inilah fakta yang sangat gamblang dari apa yang disebut korporatokrasi. Ketika korporasi-korporasi itu bisa memaksa Parlemen, juga Pemerintah, membuat peraturan yang menguntungkan mereka meski harus meninggalkan kepentingan rakyat, maka jelaslah tidak ada lagi kini kedaulatan di tangan rakyat (demokrasi). Yang ada adalah kedaulatan di tangan pemilik modal atau korporat (korporatokrasi).

Bila nanti Blok Wabu benar-benar jatuh ke pihak swasta, makin nyatalah kekuatan oligarki pemilik modal. Makin nyata pula negeri ini sesunggunya dalam bahaya. Makin jauh jatuh dalam pelukan korporatokrasi. Bahaya yang amat besar!

 

Apa yang perlu dilakukan oleh umat ini agar SDA yang melimpah ini untuk kesejahteraan umat?

Harus diterapkan syariah secara kaffah, yang mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya dalam pengelolaan sumberdaya alam.  Inilah satu-satunya jalan agar SDA yang hakikatnya milik rakyat itu hasilnya dinikmati oleh rakyat. Ini sekaligus untuk menghilangkan ketimpangan kaya miskin akibat buruknya distribusi yang ditimbulkan di antaranya oleh penguasaan SDA oleh segelintir pihak swasta nasional apalagi asing, seperti yang selama ini terjadi.

Oleh karena itu, umat harus bahu-membahu mendukung perjuangan ini. Umat harus menepis semua propaganda busuk, seperti perang melawan radikalisme yang saat ini gencar dilakukan oleh rezim, yang tak lain bertujuan untuk menyingkirkan Islam dan syariahnya dari negeri ini serta menutupi agenda jahat oligarki pemilik modal yang diantaranya hendak menghisap habis potensi SDA negeri ini.

Dengan dukungan umat, semestinya perjuangan bagi tegaknya syariah secara kaffah akan bisa dilakukan dengan mudah. Kapan umat bisa diharapkan dukungannya? Ketika umat sadar. Di situlah diperlukan penyadaran terus-menerus. Hal ini pula yang mereka takutkan, karena itu mereka lantas mencoba menghentikan proses penyadaraan ini dengan aneka cara. Jadi, jangan kita diam saja. Lawan!

WalLahu’alam. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + 7 =

Back to top button