Hiwar

Ustadzah Dr. Fika Komara: LGBT Sudah Menjadi Gerakan Global

Pengantar Redaksi:

LGBT saat ini bukan lagi sekadar penyimpang seksual yang bersifat individual. LGBT sudah menjadi sebuah gerakan. Bukan hanya gerakan lokal, nasional atau regional; tetapi telah menjadi gerakan global. Para pendukungnya pun bukan sekadar di level individu, kelompok/komunitas atau lembaga tertentu, tetapi sudah pada level negara, bahkan negara besar seperti Amerika Serikat, temasuk lembaga internasional seperti PBB.

Karena itu gerakan global LGBT tak boleh dipandang sepele. Perlu mendapat perhatian semua pihak. Kaum Muslim tentu yang paling dituntut kepeduliannya untuk melakukan berbagai upaya demi membendung gerakan amoral ini. Mengapa? Bagaimana caranya? Apa saja hambatannya? Apa solusi mendasar untuk memberangus gerakan global LGBT ini?

Itulah di antara pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Ustadzah Dr. Fika Komara dalam wawancara kali ini.

 

 

Ustadzah, benarkah LGBT itu fenomena alamiah?

Untuk menjawab ini, kita perlu melihat dari dua lensa. Pertama, lensa individual. Memang memungkinkan terjadi kasus medis, misal seseorang lahir dengan kelamin ganda. Jika kondisinya begini, tentu ini adalah bagian dari takdir dan secara fikih, Islam memiliki solusinya. Kalau kita mau jujur, kasus pada level individual ini proporsinya sangat minor, dan tentu tidak akan menjadi budaya popular di masyarakat,  kecuali ada pihak yang merekayasanya.

Kedua, lensa secara sosial masyarakat. Jelas, LGBT bukan perkara kodrati yang sifatnya alamiah, tetapi sudah merupakan bentuk penyimpangan perilaku yang terindustrialisasi melalui pop culture (film, fashion, musik). Ia mengandung nilai-nilai dan gaya hidup yang menganut paham kebebasan sekuler. Apalagi ada pihak yang mengejar dukungan sistemik secara sosial-politik dengan menyusun UU yang melegalkan hubungan sesama jenis menjadi semacam regulasi sosial. Ini berbahaya dan menyesatkan!

 

Kalau begitu, benarkah LGBT merupakan gerakan global yang didukung oleh negara-negara Barat, bahkan oleh Lembaga internasional seperti PBB?

Siapapun yang mengamati dinamika global, memang asal-muasal gerakan kaum Sodom modern ini berawal dari Barat, khususnya sejak enam dekade terakhir. Jadi bukan sekadar didukung; LGBT adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban Barat sekuler yang memuja kebebasan syahwat.

 

Kapan gerakan ini berkembang menjadi gerakan global?

Ini semua bermula dari kekacauan sosial masyarakat Barat yang dimulai pada tahun 1960-an dengan adanya gerakan pembebasan seksual atau revolusi seksual. Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk meningkatkan penerimaan seks bebas (di luar hubungan heteroseksual dan di luar pernikahan) agar diterima dan diakui. Penting untuk dicatat bahwa gerakan ini tidak direncanakan dalam sehari, tetapi berdekade-dekade.  Itu adalah hasil dari keinginan yang mengintai di sudut-sudut gelap masyarakat Barat sekuler yang ingin mendapatkan pengakuan sosial dan memasuki arus utama.

Kapan mulai mengglobal? Mulai tahun 90-an, yakni selepas Perang Dingin usai. Lalu seiring dengan globalisasi kapitalisme, perjuangan kaum Sodom modern di Barat mulai diekspor ke negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Dunia Islam.

 

Apa sebetulnya tujuan gerakan global ini?

Tujuan awalnya adalah menyebarluaskan paham kebebasan seksual. Setelah Eropa Barat dan Amerika yang baru merdeka mengadopsi sekularisme, dan belenggu gereja dilepaskan dalam kehidupan publik, mereka banyak mengecam lembaga pernikahan yang dianggap membelenggu dan eksklusif untuk heteroseksual.

Karena dasar dari negara-negara sekuler baru ini adalah pengadopsian kebebasan individu, kepemilikan, ekspresi dan agama untuk semua warganya, maka seksualitas dipersepsikan sebagai kebutuhan biologis yang harus dipuaskan seperti rasa lapar; bukan untuk kelangsungan hidup jenis manusia.

Tujuan normatif (paham kebebasan) ini kemudian berkembang menjadi tujuan yang lebih politis untuk menguatkan hegemoni Barat ke seluruh dunia dengan penjajahan sosial budaya.

 

Apa saja kerusakan yang ditimbulkan oleh Gerakan LGBT ini?

Negara Kapitalistik Barat yang mengadopsi gagasan sekularisme mungkin telah bangkit dalam hal kemajuan teknologi dan perkembangan material. Namun, mereka telah jatuh ke kedalaman pesta pora hewani; terperosok dalam wabah kekacauan seksual yang mengerikan.

Sebagaimana paparan analisis seorang aktivis Muslim AS, Mohammed Hassan. Kata dia, masyarakat Barat memiliki pengaturan hubungan pria-wanita yang suram sehingga menjadi tempat berkembang biak bagi penyakit dan penyimpangan seksual yang membusuk.  Jika kita hanya melihat beberapa data dalam hal ini, kita akan menemukan bahwa sekitar 40% kelahiran di AS terjadi di luar pernikahan, naik dari 28% pada tahun 1990. Pada tahun 2021, 51% bayi lahir dari ibu yang tidak menikah di Inggris dan Wales.

Prosentase orang dewasa AS yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT telah meningkat ke level tertinggi baru sebesar 7,1%. Ini merupakan dua kali lipat prosentase dari tahun 2012. Menariknya, peningkatan tersebut mencerminkan prevalensi yang lebih tinggi dari identitas tersebut di antara orang dewasa termuda AS dibandingkan dengan generasi yang lebih tua.  Secara kasar, 21% dari mereka yang lahir antara tahun 1997-2003 mengidentifikasi diri sebagai LGBT.  Angka-angka ini terus meningkat.

 

Lalu bagaimana pola gerakan LGBT di Indonesia?

Terdapat dua sumbu penyebaran LGBT. Pertama: Ranah formal melalui reformasi hukum dan perundangan. Sumbu pertama ini biasanya didorong melalui jalur diplomasi. Lembaga PBB di skala internasional. Di skala lokal kampanyenya dimotori oleh LSM dan aktivis-aktivis HAM liberal. Mereka terus bergerilya memperjuangkan reformasi hukum dan perundangan agar LGBT diakomodir di Dunia Islam. Mereka membabi-buta dan berkoar-koar bahwa menerima ide-ide LGBT—yang cacat ini—adalah tolok ukur masyarakat beradab dan membela HAM. Namun, mereka diam pada pelanggaran HAM Muslim Palestina atau Uyghur.

Kedua: Ranah non-formal melalui budaya populer. Sumbu kedua ini digerakkan oleh korporasi kapitalis, khususnya perusahaan-perusahaan teknologi, sosial media dan entertainment yang memiliki market besar anak-anak muda. Merekalah yang mendulang “pink money” atau cuan yang besar selaras dengan watak asli kapitalisme yang lihai mengeksploitasi syahwat dan kesenangan manusia. Ironisnya, para kapitalis sponsor LGBT ini seolah buta terhadap kerusakan peradaban di masyarakat mereka sendiri akibat mewabahnya liwaath modern, seperti penyakit AIDS, penyakit menular seksual, wabah kesehatan mental, perselingkuhan, KDRT, peningkatan perceraian dan banyak penyakit sosial lainnya. Sebanyak 43 persen dari golongan kaum gay yang berhasil didata mengaku melakukan homoseksual dengan lebih dari 500 orang, 28 persen lebih dengan dari 1000 orang. Pasangan mereka banyak yang hanya semalam atau beberapa menit saja. Perilaku menyimpang kaum Sodom modern ini jelas sangat destruktif.

 

Bagaimana modus perang pemikiran yang dilakukan oleh pendukung LGBT?

Senjata utama secara pemikiran adalah propaganda ambiguitas moral. Morally grey atau moral abu-abu yang membingungkan sehingga penyimpangan pun dinormalisasikan.

Untuk memperkenalkan kotoran ke dalam masyarakat, kelompok liberal mengambil sikap ambigu.  Mereka memilih untuk mengambil jalan yang paling diselimuti ketidaktahuan dan kebingungan. Mereka menggunakan ini untuk secara bertahap memanipulasi masyarakat menjadi lebih merosot dan tidak bertuhan. Satu-satunya cara untuk mengurangi wabah ini adalah dengan memberi tahu orang-orang bahwa itu bukan wabah lagi.  Maka dari itu, gerakan tersebut mulai menormalkan isu-isu semacam ini untuk menyembunyikan kekurangan struktur masyarakat sekuler.

Sejak berakhirnya era Perang Dingin, kekuatan propaganda abu-abu ini memang sengaja dimunculkan seiring dengan globalisasi Kapitalisme untuk ‘menjinakkan’ nilai-nilai moral lama di negara-negara target pasar Amerika. Apalagi saat Amerika Serikat semakin melaju dalam dunia bisnis internasional maka semakin penting bagi Amerika agar nilai-nilai moral Barat diterima secara global. Seperti kata Ayn Rand: “The cult of moral grayness is a revolt against moral values.” (Pemujaan terhadap moral abu-abu sebenarnya adalah pemberontakan melawan nilai-nilai moral itu sendiri).

Semakin banyak film dan karya seni yang menyisipkan budaya homoseksual dan sengaja tidak lagi menampilkan kontrasnya area moral hitam vs putih. Mereka secara bertahap semakin bernuansa abu-abu. Alhasil, kekuatan abu-abu ini sangat manjur mempopulerkan LGBT karena dikemas menjadi budaya populer dan tren kekinian. Apalagi ia dibalut dengan berbagai narasi HAM. Inilah yang memikat anak muda karena berhasil menciptakan visual memabukkan pada citra (image) dan cita rasa (taste) yang berkilauan terhadap budaya jahiliyah kaum Sodom yang menjijikkan.

Dalam bahasa Islam, ambiguitas ini disebut sebagai penyakit syubhat. Syubhat artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusakkan ilmu dan keyakinannya. Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Adapun fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat) adalah mengikuti apa saja yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syariah.  Penyakit ini akan semakin mewabah menjadi penyakit di tengah umat dan disuburkan oleh kebodohan dan kurangnya ilmu/tsaqaafah agama, dan lemahnya akidah Islam

 

Apa yang dilakukan oleh mereka agar masyarakat (sosial) terkondisikan dengan kampanye mereka?

Pengkondisian dilakukan dengan berbagai cara. Setidaknya ada dua: Pertama, secara top down. Ada upaya diplomasi serius dari negara-negara Barat terutama AS untuk menjadikan isu LGBTQ+ ini sebagai komoditas dan alat tekan hubungan internasional. Isu LGBTQ dimasukkan ke dalam paket ‘demokratisasi’ yang ujungnya adalah legalisasi pernikahan sesama jenis. Apalagi demokrasi memberi manusia wewenang untuk membuat undang-undang bagi masyarakat berdasarkan akal manusia.

Kedua, secara bottom up. Paham LGBTQ ini secara halus dipromosikan dalam industri hiburan populer. Dekade 2010-an telah menjadi dekade saat hak dan kebebasan LGBTQ+ telah meningkat secara signifikan di negara-negara Barat. Dari musik hingga TV. Dalam 10 tahun terakhir kita telah melihat budaya populer semakin terlibat dengan komunitas LGBTQ+. Sepuluh tahun yang lalu, Lady Gaga menjadi bintang yang menjadi advokat yang gigih untuk hak LGBTQ+ baik di atas maupun di luar panggung. Di Asia pun bermunculan artis-artis gay melalui industri drama seri dan musik yang bermunculan dari China, Jepang dan belakangan banyak diprakarsai Thailand.

 

Bagaimana rekayasa dan tekanan politik yang mereka lakukan untuk mencapai target-target mereka?

Di balik semua fenomena meluasnya LBGT dan kampanye melalui gerakan sosial yang massif terdapat peran dan campur tangan politik HAM luar negeri Amerika Serikat (AS). Tidak dipungkiri, AS begitu gencar dalam mengkampanyekan legalisasi LGBT ke seluruh dunia, termasuk dengan membajak kebijakan-kebijakan PBB. PBB juga secara aktif agresif mendeklarasikan perang terhadap Homophobia dengan alasan HAM. Di era Joe Bidan kampanye LGBTQ+ semakin massif dan agresif dijalankan ke seluruh dunia. Bahkan Biden dinobatkan sebagai presiden AS yang paling pro-LGBTQ+.

 

Bagaimana mereka menggalang kekuatan ekonomi untuk memuluskan agenda mereka?

Apa yang disebut “Pink Money” atau “Pink Capitalism” adalah motor ekonomi utama yang memompa kampanye mereka. Industri musik dan film ini adalah bagian dari kekuatan industri ekonomi kreatif AS yang berhasil menciptakan budaya populer melalui musik dan film sejak pertengahan abad ke-20 hingga meluas ke Asia.

Pink economy adalah penggabungan gerakan LGBT ke dalam dinamika kapitalisme. Ini menyiratkan komersialisasi komunitas itu dalam industri gaya hidup kapitalisme yang mengeksploitasi syahwat dan sangat berpengaruh pada generasi muda. Untuk Amerika Serikat saja daya beli gabungan populasi dewasa lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) AS tahun 2015 diperkirakan mencapai $917 miliar (Witeck Communications, 2016). Pink capitalism kini menjadi semakin massif karena didukung oleh korporasi kapitalis seperti Starbuck, Apple, Facebook, Instagram, dan lainnya.

 

Apa saja langkah-langkah mereka untuk meraih legitimasi Negara?

LGBT dimudahkan meraih legitimasi dari sistem demokrasi, yang merupakan pilar dari masyarakat sekuler. Ini memudahkan kelompok yang mendominasi untuk membingkai hukum yang akan membantu mereka memuaskan insting (nafsu) mereka sendiri dengan cara apa pun yang mereka inginkan.  Itu karena masyarakat sekuler menganut prinsip inti liberalisme yang mendikte: “Anda dapat melakukan apa pun yang Anda inginkan selama Anda tidak merugikan siapa pun.” 

Maka dari itu, 51% saja suara sudah bisa menghasilkan legitimasi publik untuk lahirnya regulasi, karena itu kampanye media sangat mereka butuhkan agar propaganda mereka mendapat dukungan publik sehingga jalan legalisasi semakin mulus.

 

Siapa saja pihak atau kelompok yang mendukung gerakan ini?

Nyaris semua elemen struktural negara Barat Kapitalis telah terlibat termasuk elemen fungsional. Mereka adalah para korporasi teknologi, kelompok-kelompok HAM, akademisi, institusi pendidikan, lembaga media, NGO dll. Semua bersatu-padu menyiarkan paham dan nilai ini.

 

Lalu apa yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk menolak dan menyadarkan umat tentang bahaya gerakan ini?

Rasulullah saw. telah mengkhawatirkan fitnah (kesesatan) syahwat dan fitnah syubhat terhadap umatnya. Beliau bersabda, “Inna mimmaa akhsyaa ‘alaykum syahawaat al-ghay fii buthuunikum wa furuujikum wa mudhillaat al-fitan (Sungguh di antara yang aku takutkan atas kalian adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kalian dan pada kemaluan kalian serta fitnah-fitnah yang menyesatkan).” (HR Ahmad).

Untuk menghadang arus gerakan LGBT ini tentu membutuhkan kapasitas yang besar. Tidak cukup dengan satu dua kali penolakan. Perlu upaya yang lebih sistematis dan terorganisir untuk mengimbangi kerusakan yang disponsori Amerika Serikat ini.

Umat Islam membutuhkan pemimpin adil yang kuat dan bervisi demi menghadang gelombang kerusakan yang terus dikampanyekan oleh AS, Barat dan korporasi kapitalis mereka. Nabi Muhammad saw., “Innamaa al-Iimaam junnah yuqaatalu min waraa’ihi wa yuttaqa bihi (Sungguh Imam (Khalifah) itu perisai; (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya).” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll). []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 − 15 =

Back to top button