Ibrah

Uwais ibn Qarni

Salah satu sosok istimewa dalam Islam yang sering dijadikan suri teladan dalam hal ketakwaan, kewaraan, kezuhudan dan terutama bakti kepada orangtua adalah Uwais bin Amir al-Qarni. Berasal dari Qarn, Yaman. Ia seorang miskin dan yatim, hanya tinggal dengan ibunya yang lumpuh. Penglihatannya kabur. Ia hanya seorang penggembala kambing. Namun demikian, kesibukannya mengembbala kambing dan merawat ibunya tidak menghalangi dirinya untuk taat beribadah. Ia banyak berpuasa pada siang hari dan banyak bersujud pada malam hari.

Uwais hidup semasa dengan Rasulullah saw. meski tidak pernah berjumpa dengan beliau. Meski demikian, justru sosok bersahaja ini disebut-sebut dan dipuji oleh Rasulullah saw. Bahkan beliau pernah mendorong Umar bin al-Khtahthab ra., jika bertemu dengan Uwais al-Qarni, agar meminta untuk didoakan.

Dikisahkan oleh Usair bin Jabir: Umar bin al-Khaththab, ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin Amir?”

Lalu Umar mendatangi Uwais dan bertanya, “Benar engkau Uwais bin ‘Amir?”

Uwais menjawab, “Iya, benar.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murad, dari Qarn?”

Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau dulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.”

Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?”

Uwais menjawab, “Iya.”

Umar lalu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad, dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit, kemudian sembuh, kecuali bagian sebesar satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti kepada ibunya itu. Seandainya ia mau bersumpah kepada Allah, pasti akan diperkenankan apapun yang ia pinta. Jika engkau bisa, mintalah kepada dia agar memohon kepada Allah supaya engkau diampuni.’”

Umar pun berkata kepada Uwais, “Karena itu mintalah kepada Allah supaya Dia mengampuniku.”

Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan kepada Allah. Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?”

Uwais menjawab, “Ke Kufah”.

Umar pun berkata pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di  Kufah supaya membantumu?”

Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).” (HR Muslim).

Menurut Imam an-Nawawi, Uwais adalah orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Tidak banyak orang yang tahu tentang dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang tahu. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan wali Allah yang mulia. Faktanya, ada riwayat yang menyatakan, Uwais sering dianggap remeh oleh orang-orang karena keadaannya yang miskin.

Keistimewaan Uwais secara langsung diceritakan oleh Rasulullah saw. saat beliau mendorong Umar untuk meminta doa dari Uwais agar Allah memberikan ampunan kepada beliau. Padahal Umar adalah seorang sahabat yang tentu lebih mulia daripada Uwais. Uwais sendiri adalah tâbi’în yang paling utama. Ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Umar bin al-Khaththab ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sungguh tâbi’în terbaik adalah seorang pria yang bernama Uwais. Ia memiliki seorang ibu dan dulunya berpenyakit kulit (tubuhnya ada putih-putih). Perintahkanlah kepada dia untuk meminta ampunan untuk kalian.” (HR Muslim).

Memang, ada ulama lain seperti Imam Ahmad yang menyatakan bahwa yang terbaik dari kalangan tâbi’în adalah Said bin al-Musayyib. Namun demikian, yang dimaksud adalah baik dalam hal keunggulannya dalam ilmu-ilmu syariah seperti tafsir, hadis dan fikih; bukan sebagaimana Uwais. Ini terutama karena kebersahajaannya. Uwais tidak ingin menjadi orang terkenal. Ia sampai berkata kepada Umar, “Aku menjadi orang lemah (miskin) itu lebih aku sukai.” Artinya, Uwais lebih suka hidup biasa-biasa saja (tidak tenar) dan ia berusaha untuk menyembunyikan keadaan dirinya (An-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, XVI/95).

Dalam riwayat lain, saat menggambarkan sosok istimewa Uwais al-Qarni, Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, sungguh Allah mencintai di antara makhluk-Nya sahabat yang tersembunyi (tidak terkenal) dan taat. Rambutnya kusut. Wajahnya penuh debu. Perutnya kosong kecuali dari harta yang halal. Ia termasuk ke dalam barisan orang-orang yang jika meminta izin kepada para penguasa tidak akan diizinkan. Jika melamar wanita-wanita kaya tidak akan dinikahkan. Jika tidak hadir tidak akan dicari-cari. Jika hadir tidak akan dipanggil. Jika mereka muncul, kemunculannya tidak akan membuat senang. Jika sakit tidak dijenguk. Jika meninggal dunia tidak disaksikan.”

Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa dia?”

Rasulullah saw. menjawab, “Dia adalah Uwais al-Qarni.”

Mereka bertanya lagi, “Siapakah Uwais al-Qarni?”

Rasulullah saw. bersabda, “Dia adalah seorang laki-laki yang bermata biru. Dia berambut pirang. Dadanya bidang. Perawakannya sedang dan kulitnya sawo matang. Dia senantiasa menundukkan pandangannya, menaruh dagunya di tempat sujud, meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya sambil membaca al-Quran lalu menangisi dirinya sendiri. Dia mengenakan pakaian dan mantel dari kain wol. Dia tidak dikenal di kalangan penduduk bumi, namun sangat terkenal di kalangan penghuni langit. Jika dia bersumpah dengan nama Allah maka dia pasti melaksanakan sumpahnya dengan benar. Di bawah bahu sebelah kirinya ada bintik putih. Pada Hari Kiamat kelak akan dikatakan kepada hamba-hamba Allah, ‘Masuklah kalian ke dalam surga.’ Namun dikatakan kepada Uwais, ‘Berhentilah dan berikanlah syafaat.’ Lalu dia meminta syafaat kepada Allah untuk orang-orang yang jumlahnya sama dengan suku Rabiah dan Mudhar. Wahai Umar, wahai Ali, jika kalian berdua bertemu dengan dia maka mintalah kepada dia supaya memohonkan ampunan bagi kalian berdua, niscaya Allah akan mengampuni kalian berdua.” (Abu Nu’aim, Al-Hilyah, II/81-82).

Tentang Uwais al-Qarni pula Imam adz-Dzahabi berkomentar, “Dia adalah seorang teladan yang zuhud, penghulu para tâbi’în pada zamannya, termasuk di antara wali-wali Allah yang shalih lagi bertakwa dan hamba-hamba-Nya yang ikhlas.” (Siyar A’lam an-Nubala’, 4/19).

Semoga kita bisa meneladani sosoknya; menjadi sosok yang terkenal di langit meski tidak dikenal di bumi.

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − four =

Check Also
Close
Back to top button