Muhasabah

Konvoi

Konvoi.  Kata ini menjadi populer saat ini. Khususnya sejak mencuat kasus konvoi ‘Khilafatul Muslimin’.  Sebenarnya, konvoi merupakan aktivitas biasa.  Tengok saja. Ada konvoi siswa-siswa sekolah yang rutin terjadi setelah pengumuman kelulusan. Katanya, pelampiasan kegembiraan.  Sekalipun kadang dicampuri keributan dan mengganggu kepentingan umum, biasanya dimaklumi dan aman-aman saja.

Ada lagi konvoi para pendukung walikota, capres, parpol dan sebagainya.  Meski tidak jarang terjadi rusuh dan anarki, para pengguna jalan pun sering terganggu, tak ada cerita mereka dipermasalahkan.  Apalagi sampai ke ranah hukum.  Semua dianggap biasa.

Ada juga konvoi keagamaan seperti yang terjadi pada 29 Mei 2022.  Konvoi ‘Khilafatul Muslimin’ terjadi di Brebes, Jawa Tengah (Jateng), dan Cawang, Jakarta Timur (Jaktim).   Mereka memasang tulisan saat mengendarai motor: “Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyah”, dan  “Jadilah Pelopor Penegak Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah”.  Berbeda dengan jenis konvoi sebelumnya, konvoi ini dipermasalahkan. Padahal dilakukan dengan aman, tertib dan biasa saja.  Bahkan Abdul Qadir Baraja sebagai pimpinan Khilafatul Muslimin ditangkap pada 7 Juni 2022.  Banyak pula anggotanya yang diperiksa.

Muncul pertanyaan, apa yang sedang terjadi?  Menurut pengakuan salah satu pengurusnya, konvoi ini sudah rutin dilakukan sejak 2018.  “Ya ikutlah, karena ini kan memang program rutin per 4 bulan. Ini sudah berlangsung lama, sudah sejak 2018. Hanya mungkin ada sebagian aparat yang baru menduduki jabatan kepala, atau juga mungkin ada yang ingin lebih paham, lebih tahu (sehingga terkesan baru belakangan muncul),” kata Abu Salma, pimpinan Bekasi Raya (31/5/2022).

Hal ini mengisyaratkan saat ini ada momentum penindakan, sementara sebelumnya tidak ada.  Jika dikaitkan dengan peristiwa dekat yang menyertainya, dapat dipahami bahwa momentumnya adalah pencalonan Anies Baswedan sebagai calon presiden yang selama ini dianggap dekat dengan kalangan Islam yang mereka cap negatif sebagai radikal.

Ada aksi dukungan terhadap Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024 pada demo di Patung Kuda (6/6/2022), oleh pihak yang menamakan FPI Reborn, dan disebutkan oleh pengurus resmi FPI bahwa itu adalah ‘palsu’.  Begitu juga, deklarasi di Bidakara (8/6/2022) dengan membawa nama eks FPI, eks HTI, dan eks narapidana terorisme (napiter) yang ternyata itu hanya aku-akuan.

“Upaya pembusukan Anies,” kata advokat Azzam Khan.  Pembusukan ini dengan mengaitkan deklarasi calon presiden dengan pendukung penerapan syariah Islam dan gagasan khilafah.  “Kami tidak mau ini dijadikan sebagai pembusukan Pak Anies,” ungkap Eka Jaya dari Pengacara Jawara Bela Umat (Pejabat).

Ustadz Ismail berkomentar, “Secara politik, isu radikalisme dan khilafah telah dimanfaatkan untuk mendiskreditkan Anies.  Apalagi setelah gelaran balap Formula E yang memberikan poin tersendiri baginya.”

“Tampaknya, upaya mendiskreditkan melalui isu ini akan terus dilakukan.  Pengalaman tahun 2019 hingga saat ini dapat dijadikan bukti terkait hal tersebut,” Pak Uus berkomentar.

“Kayaknya sih bukan sekadar masalah pembusukan.  Ada persoalan lain yang tengah dikembangkan,” tambah Pak Uus lagi.  Apa yang dikatakan Pak Uus barangkali bukan isapan jempol.  “Kalau kita lihat dalam kegiatan konvoi itu mereka juga mengajak masyarakat terkait dengan Khilafah untuk bergabung,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (2/6/2022).

Tak lama berselang, seperti dikutip SINDOnews.com (7/6/2022) Romli Atmasasmita berkomentar, “Tidak ada alasan apa pun bagi Pemerintah, khususnya aparatur Densus 88 untuk tidak melakukan tindakan hukum terhadap kegiatan terorisme, termasuk tidak terbatas pada kegiatan apapun yang berbau khilafah.”

“Monsterisasi ajaran Islam, khilafah, digelindingkan kembali,” Pak Hasan menyimpulkan.

Menanggapi Romli, advokat Ahmad Khozinuddin mengatakan ia tidak terlalu aneh dengan sikap Romli.  Sebab, menurut dia, Romli adalah tokoh di balik Perppu Ormas yang mencangkokkan sejumlah tambahan norma pidana dalam UU Ormas pada tahun 2017.

“Kalau Romli marah kepada KPK, sebagaimana OC Kaligis yang juga marah, karena KPK pernah memenjarakan dia, masih bisa dimengerti.  Namun, terhadap khilafah, apa salah khilafah?” tambahnya.

Menarik obrolan empat orang ‘ndeso’ dalam video singkat yang beredar di dunia maya.  “Justru negara ini terancam jika tidak ada khilafah,” kata orang berkaos putih dan bertopi a la milenial.

“Ekonomi kapitalistik, yang berbasis pada riba dan judi, itu akan mengancam negeri ini. Mengancam apa?  Negeri ini terancam krisis ekonomi.  Ono meneh, politik demokrasi. Mereka mengejar kekuasaan dan jabatan.  Mengeluarkan dana, bukan miliaran, tapi triliunan.  Untuk mengembalikan itu, mereka korupsi.  Jadi, negeri ini terancam oleh korupsi.

Ono meneh, kebebasan pergaulan.  Ini mengancam apa?  Mengancam keutuhan keluarga.  Seks bebas, free sex, LGBT, itulah mengancam negeri ini.  Utang menggunung.  Mereka dikejar-kejar rentenir dunia.  Wis dikorupsi, duitte ente, rakyat diperas untuk bayar pajak. Akhirnya apa? Menjual aset-aset bangsa.  Negeri ini terancam apa? Dikuasai oleh penjajah.  Jadi kabeh kudu paham, khilafah bukan ancaman, betul ora,” ungkapnya dalam dialek Jawa yang khas.

Aku wis paham saiki, khilafah itu pancen ancaman,” kata orang yang mengenakan blangkon.  Ketiga orang lainnya menegur, “Kok sudah dijelaskan bukan ancaman, tapi bilang ancaman.”

Orang itu pun segera meluruskan maksudnya, “Ancaman kanggo penjajah, ancaman kanggo koruptor, ancaman kanggo kaum liberal, ancaman kanggo kaum kapitalis.”

Ini semua tampak tak terpisahkan dari adanya pihak yang menjauhkan hukum Islam dari kehidupan.  Saya menjadi teringat saat menghadiri Halal bi Halal para Tokoh di Bogor beberapa hari setelah Lebaran.  Saat itu saya berkesempatan menyampaikan Hadis Rasulullah saw. Beliau bersabda: “Buhul/ikatan Islam akan terputus satu demi satu. Setiap kali putus satu buhul, manusia mulai perpegang pada tali berikutnya. Yang pertama kali putus adalah adalah hukum, dan yang terakhir adalah shalat.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabiir, dan Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya.  Syaikh Bin Baz mengatakan, “Makna yang pertama kali terputus adalah hukum sangat jelas, yakni tidak berhukum pada hukum/syariat Allah SWT. Inilah yang kini terjadi di mayoritas dunia Islam.”

“Upaya memutus hukum Islam ini terus terjadi.  Kasus yang sedang ramai sekarang tentang ‘babi rendang Padang’, LGBT yang mendapatkan tempat, jilbab yang diejek sebagai penutup kepala a la wanita gurun pasir, termasuk khilafah, menunjukkan upaya tersebut,” pungkas Pak Uus.

WalLâhu a’lam. [H.M. Rahmat Kurnia]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × two =

Back to top button