Muhasabah

Pemimpin Haus Jabatan

Kekuasaan. Itulah yang kini tengah diperebutkan.  Betapa indah dan nikmatnya kekuasaan. Dengan kekuasaan, apapun dapat diraih.  Kebaikan dapat diraih melalui kekuasaan. Sebaliknya, keburukan pun dapat digapai lewat kekuasaan.  Persis, laksana pisau bermata dua.  Al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip pandangan para ulama, “Kekuasaan itu merupakan kesenangan di dunia.  Di dalamnya diraih kedudukan, harta, pelaksanaan keputusan dan menghasilkan segala kesenangan yang kasatmata maupun kesenangan batin. Namun, ia adalah penderitaan di akhirat ketika telah berpisah darinya akibat kematian dan pertanggungjawaban semua yang terkait dengannya kelak di akhirat” (Fath al-Bari, 13/127).

Kekuasaan bukanlah tiket gratis tanpa pertanggungjawaban.

Dengan gamblang, Rasulullah Muhammad saw. menjelaskan hakikat kekuasaan.  Dalam Musnad al-Bazzar (4/307) diriwayatkan dari Auf bin Malik ra bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian mau, aku akan menjelaskan kekuasaan (imarah) itu apa.”  Lalu aku (Auf bin Malik ra.) berdiri dan berkata dengan suara nyaring sebanyak tiga kali, “Apa itu, ya Rasulullah?”  Beliau menjawab, “Awalnya adalah celaan. Keduanya adalah penyesalan. Ketiganya adalah azab pada Hari Kiamat, kecuali orang yang adil, dan betapa sulitnya seseorang berlaku adil saat berkaitan dengan keluarga terdekatnya.”

“Tidaklah seorang penguasa yang mengurusi rakyat dari kaum Muslim lalu ia mati dalam keadaan menipu (ghasy) mereka kecuali Allah mengharamkan baginya surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pada Juz 6, halaman 2614, beliau menjelaskan bahwa makna ‘ghasy’ adalah ia tidak menegakkan keadilan dan tidak mengurus (rakyat) dengan syariah Allah ‘Azza wa Jalla serta perintah dan larangan-Nya.  Ibnu Bathal menegaskan bahwa ini adalah ancaman keras bagi para pemimpin yang berbuat kriminal, menyempitkan rakyat yang diamanahkan oleh Allah, mengkhianati mereka atau menzalimi mereka, niscaya dia menghadap kepada-Nya dengan tuntutan telah berbuat zalim kepada hamba-Nya pada Hari Kiamat.  Bagaimana ia dapat berlepas diri dari kezaliman umat yang agung ini.

Ada satu kata kunci: ‘Jangan haus kekuasaan’.  Kata kunci lainnya adalah: Adil.  Siapa pun yang haus kekuasaan dan tidak adil akan menjelma menjadi penguasa yang akan diliputi oleh celaan, penyesalan dan azab yang pedih kelak.  Na’udzu bilLahi min dzalika.

Ketidakadilan itu akan dirasakan dan tampak jelas oleh semua orang.  Sebab, hal itu sudah berkaitan dengan gharizah.  Tak mungkin ditutup-tutupi. “Nu ngarana kazholiman sakumaha ditutup-tutup oge pasti katohyan.  Ceuk paribasa kolot mah, sabuni-buni meuleum tarasi pasti kaangseu bauna (Yang namanya kezaliman, betapa pun ditutup-tutupi, pasti akan ketahuan.  Kata peribahasa orangtua, serapat-rapatnya membakar terasi pasti akan tercium baunya),” begitu nasihat ibu saya dulu.

Bahkan ketidakadilan yang lahir dari haus kekuasaan dan ambisi jabatan akan melahirkan perpecahan.  Saya sependapat dengan Kiyai Luthfi Bashori saat mengungkapkan keprihatinannya dengan menyatakan, “Gegara haus kekuasaan, sering memecah-belah umat.  Gegara ambisi jabatan, dapat pula mengakibatkan permusuhan.  Memisahkan seseorang dengan pasangannya. Memisahkan seseorang dengan ayahnya.  Memisahkan seseorang dengan anaknya.  Memisahkan seseorang dengan saudaranya.  Memisahkan seseorang dengan gurunya.  Memisahkan seseorang dengan muridnya.  Memisahkan seseorang dengan kawannya.”

Bukan hanya itu. Ketidakadilan akan dapat melarang seseorang yang hendak berbuat kebaikan. Siapa saja yang dipandang menghalangi kekuasaannya dapat dilarang mengisi pengajian, dikriminalisasi, bahkan dijebloskan ke balik jeruji besi.  Sekadar menyebut, pekan ini ramai dibicarakan ada salah satu calon yang konon dilarang menunaikan shalat Jumat di salah satu masjid, Jawa Tengah.  Alasannya, takut kampanye.  Padahal masjid adalah milik semua umat Islam.  Siapa pun berhak untuk beribadah di dalamnya.  Dunia maya ramai membicarakan peristiwa itu.  “Saya prihatin dengan kejadian ini, mengingatkan pada masa kecil,” ungkap Sudirman Said (14/2/2019).

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia pada Kabinet Kerja ini segera menambahkan, “Terakhir kali saya mendengar orang salat dilarang-larang waktu kecil tahun 60-an. Ada kelompok yang melarang mushalanya dipakai karena beda aliran. Ada kelompok yang menghalangi rombongan mau salat ied di lapangan.”

Bahkan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mensinyalir ada tujuan politis tertentu di balik larangan salat Jumat tersebut.

Itulah pentingnya penguasa atau calon penguasa paham ajaran Islam.  Takut pada Allah SWT.  Dulu, 14 abad lalu, Umar bin al-Khaththab ra. berkata, “Perdalamlah ilmu agama (menjadi faqih) sebelum kalian menjadi pemimpin.” Begitu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya (1/38).

Namun, bukan sekadar paham Islam, melainkan juga menerapkan Islam secara konsisten dalam kehidupan dan tidak tergelincir dari ajarannya.  Bila tidak, kehancuran tinggal menunggu waktu saja.  Ziyad bin Hudair  mengatakan bahwa Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata kepadanya, “Tahukah engkau apa yg menghancurkan Islam?” Ia (Ziyad) berkata, aku menjawab, “Tidak tahu.” Umar berkata, “Yang menghancurkan Islam adalah penyimpangan/tergelincirnya orang alim (ulama), bantahan orang munafik dengan al-Quran dan hukum (keputusan) para pemimpin yang menyesatkan.” (HR ad-Darimi).

Ya, kita butuh pemimpin Islam. Bukan pemimpin yang haus jabatan. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × five =

Back to top button