Muhasabah

Toleran

Malang Tolerant City Not Halal City”.  Begitu bunyi spanduk yang terpasang di beberapa sudut Kota Malang (17/2/2022).  Dunia maya pun menjadi heboh.  “Ustadz, nih lagi rame spanduk,” ujar Pak Bestari dalam WA mengomentari gambar spanduk yang diambilnya dari media.

“Iya, Pak.  Apa yang Bapak bisa tangkap?” saya mencoba mendalami.

“Kalau menurut saya, ini makin membuka apa arti toleran yang mereka maksudkan,” jawabnya.

Saya bertanya lagi ingin tahu, “Maksudnya bagaimana, ya?”

Pak Bestari semangat menjawab, “Itu penegasan bahwa ‘tolerant’ itu maknanya ‘not halal’.  Makna tersebut yang selama ini mereka sembunyikan. Lho, sekarang mereka buka sendiri.  Menurut saya, slogan ‘Kita harus toleran’ yang mereka gembar-gemborkan artinya ‘kita harus membiarkan perkara haram berkeliaran’.”

Kejadian ini laksana membuka kotak pandora.  Hakikat istilah toleran yang selama ini remang-remang menjadi semakin terang.

“Islam kan agama toleran, Pak Ustadz?” tanya Pak Muchtar kepada saya.

Saya sampaikan bahwa Islam tidak pernah punya masalah dengan pluralitas dan toleransi.  Sejarah mencatat hal itu.  Aturan-aturan Islam telah dengan lengkap dan sempurna mengatur keragaman dan perbedaan.  Bahkan ajaran Islam memberikan solusi terhadap persoalan yang lahir dari keragaman dan perbedaan itu.  Siapa pun yang menghayati lintasan sejarah umat Islam yang panjang akan menemukan betapa kaum Muslim tidak memaksa orang kafir masuk Islam (QS al-Baqarah [2]: 256).  Non-Muslim dibiarkan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Umat Islam pun dilarang mencela sesembahan agama lain (QS al-An’am [6]: 108).  Dialog dengan orang yang berbeda agama dilakukan dengan cara makruf (QS al-‘Ankabut [29]: 46).  Bahkan di dalam banyak kitab fikih dijelaskan bagaimana kedudukan, hak dan perlakuan terhadap orang-orang Non Muslim dalam pemerintahan Islam.

Lho, mantap ini, Pak Ustadz,” selanya.

“Kaum Muslim sepanjang sejarah tidak pernah punya ‘problem toleransi’.  Umat Nabi Muhammad itu terbiasa hidup dalam pluralitas.  Toleransi dan lapang dada yang mereka miliki sangat luar biasa.  Sudah mandarah daging pada diri mereka.  Orang-orang yang berbeda keyakinan dan agama pun diperlakukan dengan santun, adil, manusiawi, dan harmonis,” tambah saya.

“Tapi mengapa sekarang ini umat Islam sering dipojokkan dengan tuduhan tidak toleran, radikal-radikul.  Bagaimana ini, Ustadz?”  Pak Muchtar memberondong dengan pertanyaan.

Saya katakan, istilah ‘toleran’ saat ini banyak digunakan sebagai ‘alat perang opini’.  Arahnya, meneguhkan paham sekular-liberal sekaligus memojokkan ajaran Islam dan simbolnya.  Karena itu umat Islam didudukkan dalam posisi tertuduh.

Toleran alias tasâmuh merupakan suatu kata yang baik.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, “Toleran adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.”

Namun, kini sering kata itu digunakan untuk mengelabui.  Di kalangan para penuntut ilmu Islam disebut ‘kalimatu haqqin urîda bihâ al-bâthil’ (pernyataan yang benar, tetapi yang diinginkan darinya adalah kebatilan).  Misalnya, ketika ada orang yang mempertanyakan kepada temannya sesama Muslim, “Mengapa tidak shalat.” Dia bilang tidak toleran.  Mau shalat atau tidak, itu urusan dia.  “Kita harus toleran,” kata mereka.

Siapa pun boleh memilih pasangan hidupnya. Tidak harus laki-laki dengan perempuan.  Boleh saja laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan.  Tidak boleh disalahkan.  “Kita harus toleran,” kata mereka.

Penghinaan terhadap Rasulullah saw. dan ajaran Islam, menurut mereka, harus dimaklumi.  Itu kebebasan berekspresi.  Sikap menenggang kemungkaran seperti itu dipandang sebagai ‘toleran’.  Pembuatan musium Hollocaust di Minahasa juga di-framing sebagai bagian dari toleransi.

Jadi, ‘perang opini’ yang dikembangkan bahwa masyarakat yang toleran seperti sajian makanan.  Semua jenis makanan boleh ada.  Silakan pilih sesuai selera.  Selama ada orang yang senang berzina, biarkan ada lokalisasi atau hubungan di luar nikah asal suka sama suka.  Yang penting jangan ada ‘kekerasan seksual’.  Jika ada orang yang suka minum-minuman keras, tidak boleh ada larangan peredaran minuman memabukkan tersebut.  Biarkan ada di tengah masyarakat.  Kalau tidak suka, jangan beli.  Andai ada orang yang suka mempertontonkan aurat, berpakaian mini, bahkan berpakaian setengah telanjang, tidak boleh dilarang.  Kalau tidak suka, jangan dilihat.  Jangan piktor alias pikiran kotor.

Begitu juga dalam keyakinan, harus toleran.  Tidak boleh ada klaim kebenaran.  “Semua agama benar,” itu pahamnya.  Bahkan berdoa pun dibuat lintas agama.  Tidak heran jika ada azan dan shalawatan di gereja atau beribadah di kelenteng saat perayaan Imlek.  Semua itu atas nama toleransi. Jika yang dikembangkan dan diterapkan toleran dalam makna ini, sebenarnya yang sedang ditanam adalah ‘budaya sekular’ berbaju ‘toleransi’.

Wajar belaka orang yang berpegang pada ajaran Islam akan dituduh intoleran.  Begitu juga amar makruf nahi mungkar dianggap sama dengan intoleran.  “Jelas. Sangat jelas.  Clear!” respon Pak Muchtar lagi.

Dalam kondisi seperti ini, patutlah kiranya kita merenungi sabda Rasulullah saw., “Ingatlah, sesungguhnya angin Islam itu berputar. Karena itu berputarlah bersama dengan al-Quran dimana pun ia berada.  Ingatlah, sesungguhnya al-Quran dengan kekuasaan akan berpisah, janganlah kalian berpisah dari al-Quran…” (HR ath-Thabarani).

WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + nineteen =

Back to top button