Adili Penista Islam!
Sebagian umat Islam geram dengan kelakuan siapapun komika yang menjadikan agama sebagai materi lawak. Sebuah potongan video viral di media sosial soal candaan tentang hari Raya Idul Adha.
Komika Coki Pardede, Tretan Muslim dan Adriano Qalbi menjadi sorotan lantaran diduga menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan. Meski tidak menyebut secara eksplisit, mereka bersenda gurau soal prank terparah di muka bumi adalah kisah manusia yang menyuruh menyembelih anaknya, tetapi tidak jadi.
Sontak saja, publik yang melihat video Adriano Qalbi cs ini menduga candaan itu merupakan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya Ismail, namun tidak jadi, dan digantikan domba.
Sedulur, tindakan Adriano Qalbi CS diduga kuat memenuhi: Pertama, unsur tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) (Lihat: Pasal 45 A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU Republik Indonesia No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE).
Kedua, memenuhi unsur delik Penodaan Agama PNPS (UU) No. 1 Tahun 1965 dan dimasukkan Pasal 156a ke KUHP. Delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965).
Sedulur, Islam tidak melarang lawakan atau bercerita lucu. Bahkan Rasulullah saw. pun dikenal sebagai sosok yang pandai dalam bercanda dengan merangkai kata tanpa mengandung unsur kebohongan. Hukum dasar bercanda (bergurau, senda-gurau, humor, melawak) adalah mubah atau boleh.
Namun, Islam melarang umatnya untuk bermain-main atau mengolok-olok Islam. Allah SWT berfirman (yang artinya): Jika kamu bertanya kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sungguh kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kalian minta maaf karena kalian telah kafir sesudah beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 65-66).
Di dalam kitab Sullam at-Tawfîq disebutkan bahwa pelecehan atau penistaan terhadap Allah SWT, Rasul saw., syiar-Nya dan ajaran Islam bisa menyebabkan pelakunya murtad.
Imam an-Nawawi al-Bantani, di dalam Mirqât Shu’ûd at-Tashdîq fî Syarh Sullam at-Tawfîq, menyatakan bahwa riddah (murtad) itu merupakan bentuk kekufuran yang paling tercela.
Al-Istihza’ (pelecehan/penistaan) secara bahasa berarti as-sukhriyyah (ejekan/cemoohan) atau menyatakan kurang (tanaaqush). Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ‘ ‘Ulûm ad-Dîn (3/131) menyatakan, makna as-sukhriyyah adalah merendahkan dan meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Sultan Abdul Hamid II secara tegas mengancam rencana pementasan drama karya Voltaire yang akan menista kemuliaan Rasul saw. Sultan berkata, “Kalau begitu, saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!”
Kerajaan Inggris pun ketakutan dan membatalkan pementasan tersebut.
WalLaahu a’lam. [Budiharjo, S.H.I. ; (LBH Pelita Umat Jatim)]