Mewujudkan Poros Politik Islam
Sebelum Rasulullah saw diutus, kaum kafir Quraisy adalah pemimpin bagi suku-suku Arab. Ada bentuk pemerintahan yang tercermin dalam “Dewan” bagi para pemimpin dan para kepala suku yang bermacam-macam dalam kaum kafir Quraisy, yang disebut dengan “Dâr an-Nadwah”. Di “Dewan” inilah mereka berkumpul, berkonsultasi dan membuat keputusan. Dengan demikian, mereka adalah poros politik yang berkuasa di Makkah.
Ketika Rasulullah saw diutus, mereka menyadari betul dimensi dan tujuan dari dakwah Muhammad saw. Mereka alu menawarkan kekuasaan kepada beliau dengan syarat beliau harus meninggalkan dakwahnya. Namun, beliau menolak. Beliau terus berdakwah hingga Allah memenangkan Islam, dengan adanya respon dari Madinah dan kaum Anshar terhadap dakwahnya. Kemudian beliau mendirikan negaranya di Madinah al-Munawwarah dengan model yang khas, tiada duanya. Beliau sebagai pemimpin dan penguasanya. Al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber konstitusinya. Para sahabatnya yang mulia sebagai kekuatan yang mencerminkan poros politiknya.
Dalam era Kekhilafahan Umar ra., seorang wanita berdiri mengoreksi beliau terkait kasus sosial dan politik tentang masalah pembatasan jumlah mahar. Lalu Amirul Mukminin mencabut kembali keputusannya. Dalam Kekhilafahan Bani Umayyah, setelah Muawiyah bin Yazid melepas kekhilafahan—dan kematiannya kemudian—maka Bani Umayyah sebagai poros politik bertemu dalam sebuah pertemuan yang terkenal di Jabiya, dan mereka memberi kekuasaan kepada Marwan bin Hakam. Seandainya itu tidak ada, niscaya Kekhilafahan mereka tumbang dan berakhir, sebagaimana yang dikatakan oleh para sejarahwan.
Demikianlah poros politik dalam negara Khilafah Islam yang berperan sebagai katup pengaman, dan salah satu bentuk tekanan politik, koreksi, serta pengendalian sistem bagi siapa pun yang berkuasa agar tidak menyimpang dari hukum Allah SWT.
Namun ketika Khilafah telah tumbang, dilenyapkan oleh kaum kafir penjajah, dan negeri-negeri kaum Muslim dikapling, sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam sudah lenyap, begitu juga dengan poros politiknya, mereka memaksakan sistem pemerintahan dan para penguasa yang tidak berhukum dengan Islam. Terbentuk pula poros-poros politik yang terkontaminasi dan rusak, dengan tugas melindungi rezim dan menghiasnya untuk masyarakat umum, bahkan sekalipun mereka berada di jajaran yang disebut oposisi. Saat yang sama, kemiskinan, kesempitan, kezaliman dan ketidakadilan menyelimuti kondisi kaum Muslim di negeri-negeri mereka.
Oleh karena itu penting dan harus bagi siapa saja yang ingin mengubah realitas negeri-negeri kaum Muslim untuk memperhatikan mereka ini dan membongkar rusaknya ide-ide mereka, dan menghancurkannya sejak dari asasnya yang rusak. Harus ada pula usaha untuk membangun dan menciptakan poros politik di masyarakat yang akan menjadi alternatif yang siap saat terjadi perubahan rezim. Ini adalah tugas partai ideologis dalam masyarakat. Hanya partai ideologis yang akan menciptakan poros politik seperti ini.[ Mahfud Abdullah ; Direktur Indonesia Change]