Ramadhan dan Persatuan Umat
Bulan Ramadhan telah tiba. Hati umat Islam dipenuhi rasa gembira ketika mereka menyambut bulan yang diberkahi, bulan kebaikan yang berlimpah serta bulan penuh ampunan. Bulan ini adalah tamu agung. Jauh-jauh hari kita telah mempersiapkan diri guna menyambut agung ini. Ketika Ramadhan tiba, kaum Muslim selalu melakukan instrospeksi dalam hidup mereka.
Ramadhan menjadi monumen dan momentum bagi kita untuk membentuk kepribadian Islam terbaik. Kita bertobat dari dosa dan kesalahan langkah kita sebelumnya dalam hidup. Lalu kita memulai kembali hidup yang ‘bersih’.
Kemulian dan keistimewaan Ramadhan terlukis dalam hadis Nabi saw. melalui penuturan Abu Hurairah ra.:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةُ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارُ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
Jika Ramadhan datang, pintu-pintu surga dibuka; pintu-pintu neraka ditutup; dan setan-setan dibelenggu (HR Muslim).
Satu Ramadhan, Satu Idul Fitri
Pada dua hari terakhir Sya’ban, umat Islam di seluruh dunia bergegas untuk melihat Hilal Ramadhan untuk menentukan hari puasa pertama mereka. Penampakan bulan baru (Hilal) sangat penting dalam penentuan awal dari puasa fardhu ini. Akhir Ramadhan, kita juga diperintahkan Allah SWT untuk melakukan pencarian Hilal dari 1 Syawal. Inilah Islam yang memiliki metodologi untuk memastikan bahwa umat Islam memiliki satu Ramadhan dan satu Idul Fitri.
Cara mengetahui Hilal adalah dengan rukyat, yakni melihat bulan secara langsung dan bukan dengan cara lainnya. Penetapan awal bulan Ramadhan dengan hisab adalah tidak sah. Alasannya, “Karena kita mengetahui secara pasti dalam agama Islam penetapan hilal puasa, haji, ‘iddah, ila’, atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan Hilal melalui informasi yang disampaikan oleh ahli hisab adalah tidak dibolehkan.” (Shahih Fiqih Sunnah, edisi Indonesia, Pustaka al-Tazkia, III/119).
Nas-nas yang bersumber dari Rasulullah saw. yang menjelaskan tentang hal itu cukup banyak. Di antaranya:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Sungguh kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula menghitung. Bulan itu begini dan begitu, yakni kadang 29 dan kadang 30 (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Bulan (Qamariah) itu ada 29 hari. Karena itu janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat Hilal. Jika kalian terhalang melihat Hilal itu, sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi 30 hari (HR al-Bukhari).
Syaikh Abu Malik Kamal melanjutkan, “Kaum Muslim telah menyepakati perkara tersebut. Tidak diketahui adanya khilaf—pada prinsipnya—baik dulu maupun sekarang, kecuali berasal dari sebagian kalangan muta’akhirin (yang mengaku sebagai ahli fikih) setelah berlalunya abad ketiga tentang kebolehan melakukan hisab, sebatas untuk diri sendiri. Namun, ini suatu keganjilan karena menyelisihi ijmak yang sudah ada sebelumnya.” (Shahih Fikih Sunnah, III/120).
Islam adalah cara hidup yang lengkap. Islam memberikan panduan hidup yang jelas. Islam memiliki standar metodologi untuk melihat penampakan bulan baru. Dalam sistem Khilafah (sebelum diruntuhkan agen-agen Inggris tahun 1924), para khalifah sebelumnya telah mematuhi hanya metodologi Islam saja. Mereka tidak pernah mengabaikan masalah ini. Berbeda dengan kondisi umat Islam hari ini yang telah terbagi menjadi lebih dari lima puluh negara. Penguasa mereka berbeda-beda menetapkan Idul Fitri dan Ramadhan setiap tahunnya. Seolah-olah ini adalah masalah sepele.
Bulan Ketaatan
Bulan Ramadhan momentum bagi setiap Muslim untuk taat dengan seluruh syariah-Nya. Kaum Muslim terpanggil untuk memiliki sikap murâqabah, senantiasa merasa diawasi Allah. Selama bulan Ramadhan ini, kita secara ruhiah memang dilatih untuk meningkatkan ketundukan dan ketaatan pada syariah. Pada bulan Ramadhan ini, hal-hal yang notabene biasa kita lakukan di luar Ramadhan—seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri—ternyata bisa kita tinggalkan.
Jika yang halal saja—di luar Ramadhan—bisa kita tinggalkan pada bulan Ramadhan ini, apalagi yang haram. Jika yang sunnah seperti shalat tarawih, sedekah dan sebagainya saja bisa kita lakukan, apalagi yang wajib. Artinya, dengan kemauan yang besar, semua hukum syariah yang Allah bebankan kepada kita pasti bisa kita laksanakan. Ramadhan adalah madrasah untuk mewujudkan itu semua. Alhasil, kita dituntut untuk menggiatkan pengorbanan di jalan Allah, termasuk berkorban menahan rasa lapar dan haus demi meraih derajat takwa.
Takwa adalah puncak pencapaian ibadah shaum Ramadhan. Perwujudan takwa secara individu tidak lain adalah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Perwujudan takwa secara kolektif adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan oleh seluruh kaum Muslim. Shaum Ramadhan tentu akan kurang bermakna jika tidak ditindaklanjuti oleh pelaksanaan syariah secara total dalam kehidupan, karena itulah wujud ketakwaan yang hakiki.
Kaum Muslim dipanggil oleh Allah SWT untuk menjalankan semua hukum syariah Islam, termasuk memutuskan semua perkara di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana kewajiban pelaksanaan hukum-hukum yang bersifat personal. Hanya saja, semua hukum yang terkait dengan pengaturan masyarakat di atas adalah kewenangan penguasa/pemerintah, bukan kewenangan individual/personal. Inilah pentingnya kaum Muslim memiliki penguasa (yakni Khalifah) dan sistem pemerintahan yang sanggup menerapkan hukum-hukum Islam di atas (yakni Khilafah). Inilah wujud ketakwaan kita secara sosial. Ketakwaan dan kesalihan sosial ini dengan sendirinya mendorong kita untuk gigih memperjuangkan penerapan semua hukum-hukum Allah terkait dengan masalah sosial kemasyarakatan tersebut.
Di Tengah Keprihatinan
Terdapat perbedaan penting Ramadhan sekarang dengan Ramadhan sebelum keruntuhan Khilafah Islamiyah tahun 1924 Masehi. Sebelum tahun 1924 Masehi, kaum Muslim menjalankan ibadah puasa di bawah naungan Khilafah Islamiyah dan kepemimpinan para khalifah yang memiliki komitmen kuat untuk menjaga Islam dan kaum Muslim. Adapun sekarang, kaum Muslim harus melalui bulan Ramadhan di bawah naungan pemerintahan kufur dan pemimpin-pemimpin sekular yang mengatur urusan mereka dengan memisahkan hukum-hukum Islam dari urusan negara. Bahkan sebagian pemimpin itu rela menyerahkan harta dan nyawa kaum Muslim kepada musuh Islam dan kaum Muslim.
Sepanjang sistem Khilafah, selama tiga belas abad, pada Ramadhan tidak dijumpai sikap kaum Muslim yang sekadar puas dengan hanya menerapkan Islam dalam urusan pribadi mereka. Selama era Khilafah, umat Islam berusaha untuk mendorong para penguasa (khalifah) atas penerapan Islam mereka secara komprehensif, memerintahkan yang baik dan melarang kejahatan tanpa kompromi.
Saat itu umat Islam tidak membatasi diri mereka pada puasa, tarawih dan panggilan untuk menyegerakan berbuka puasa. Kaum Muslim berjuang dan berkorban untuk memastikan bahwa Islam diterapkan di semua bidang kehidupan, individu dan kolektif, termasuk ekonomi, kebijakan luar negeri dan pendidikan. Karena itu Ramadhan dalam abad Khilafah telah menyapa umat dengan seluruh kemanfaatan yang besar atas penerapan syariah Islam.
Khalifah menjaga keamanan seluruh rakyatnya. Kaum miskin dibebaskan dari beban mereka. Kehidupan keluarga dipenuhi dengan ketenangan dan keharmonisan. Saat itu umat manusia yang paling cerdas dan cemerlang adalah Muslim. Non-Muslim berbondong-bondong memeluk Islam. Kaum Muslim dipersatukan dan memiliki stabilitas keamanan yang kuat. Dengan itu pasukan musuh takut menghadapi tentara-tentara Muslim melalui jihad hingga panji-panji Islam diangkat setinggi-tingginya di seluruh dunia.
Kita bandingkan dengan Ramadhan masa kini sejak penghapusan Khilafah. Hari ini, umat Islam diperintah oleh pemimpin yang tidak takut kepada Allah SWT. Mereka meremehkan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya saw. di bawah kursi kekuasaan mereka. Para penguasa saat ini bahkan tak segan memerintahkan kejahatan dan melarang kebaikan. Saudara-saudara mereka dari Rohingnya, Khasmir, Suriah, Irak, Palestina dan Uighur yang berteriak memanggil dan meminta pertolongan diabaikan tangisannya. Sebagai efek penerapan sistem Kapitalisme, harapan sejahtera dari kaum miskin dihancurkan. Beban mereka makin berat dan bertambah. Nilai-nilai dan tradisi Barat yang korup didorong ke tenggorokan umat Islam untuk mempengaruhi kehidupan keluarga Muslim. Sekularisasi pendidikan menghantarkan generasi Muslim berada dalam kondisi yang menyedihkan. Negeri-negeri Muslim terpecah-belah dan dilemahkan, diperintah oleh demokrasi, kediktatoran dan monarki. Lalu para musuh tetap tenang ketika angkatan bersenjata Muslim ditahan di barak mereka, tidak digunakan untuk melawan para penjajah Barat.
Seruan
Wahai umat, penderitaan apa lagi yang harus ditunggu dan diungkap sehingga Anda bisa memahami hakikat hegemoni kaum imperialis terhadap kita? Mereka telah berkumpul untuk menghancurkan negeri kita dan mengepung kita dari segala sisi dengan kolusi, kemudahan dan bantuan dari antek-antek lokal mereka. Dunia Muslim sudah kenyang dengan berbagai pengkhianatan antek-antek Barat yang mengangkangi dada kita dan menguasai diri kita melalui instansi-instansi dan sistem pemerintahan buatan manusia yang dipaksakan kepada kita.
Apakah umat ini rela dipimpin para penguasa yang telah menikmati kehinaan dan keantekan kepada tuan-tuannya kaum kafir imperialis sampai pada derajat hampir tidak ada harapan mereka akan sadar kembali dan berpaling dari pelanggaran mereka? Berapa waktu lagi yang harus ditunggu sehingga umat menyadari bahwa tidak ada jalan keluar bagi mereka kecuali dengan Islam, agama haq yang di dalamnya terdapat sistem kehidupan yang sempurna dan paripurna meliputi seluruh aspek kehidupan? Kapan umat menyadari bahwa pembebasan hakiki terjadi dengan melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya syariah Islam secara kaffah. Kapan mereka memahami bahwa hanya dengan solusi Islam saja umat Islam akan mampu memupus pendudukan kaum imperialis dan pembantaian mereka terhadap saudara-saudara kita dan perusakan mereka yang sistematis terhadap anak-anak kita?
Inilah Ramadhan Mubarak, momentum kebangkitan, persatuan dan kesadaran. Anda harus menyatukan segenap upaya Anda dan waspada terhadap konspirasi musuh-musuh dari sekeliling Anda. Anda harus bertawakal kepada Allah dengan menjadikan kesadaran Anda berujung menjadi perjuangan yang ikhlas hanya untuk Allah SWT.
Saatnya umat memutus seluruh konspirasi dan ‘tangan-tangan’ (agen-agen) Barat dari sekeliling Anda. Saatnya mencampakkan alat-alat lokalnya yang gigih mempromosikan racun Barat penjajah, terutama Amerika yang melindungi kepentingan imperialismenya, di seluruh tanah kaum Muslim. Persatuan umat akan menjadi berharga ketika berhasil menghentikan kezaliman rezim dan sistemnya dari akarnya hingga ujung daunnya. [Umar Syarifudin]