Mampukah Khilafah Menjadi Rumah Bersama?
Soal:
Mampukah Khilafah menjadi rumah bersama bagi semua warga negara, Muslim maupun non-Muslim?
Jawab:
Khilafah adalah negara yang berdiri di atas pondasi akidah Islam; ideologi yang memuaskan akal, menenteramkan hati dan sesuai dengan fitrah manusia. Islam yang menjadi dasar, pedoman serta jalan hidup (way of life) dalam kehidupan individu, masyarakat dan bernegara adalah ideologi rahmatan li al-‘alamin dan adil.
Dengan tegas Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [29]: 107).
Makna “rahmat[an]” di sini adalah “jalb[an] li al-mashâlih” (mewujudkan kemaslahatan] dan “daf’[an] ‘an al-mafasid” (mencegah kerusakan). Kerahmatan Islam bukan hanya untuk Muslim, tetapi juga non-Muslim. Bukan hanya untuk manusia, tetapi juga hewan. Bukan hanya untuk makhluk hidup, bahkan benda-benda mati pun mendapatkan kerahmatan Islam ketika Islam diterapkan secara kâffah dalam kehidupan.
Karena itu ketika Islam diterapkan oleh negara, sebut saja Khilafah, maka Khilafah benar-benar bisa menjadi rumah bersama bagi seluruh umat manusia.
Pertama: Islam adalah ideologi universal, yang diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Tidak membedakan ras, suku dan bangsa (Lihat: QS al-Anbiya’ [29]: 107).
Dalam nas lain Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (QS al-Hujurat [49]: 13).
Karena itu di bawah naungan Khilafah, seluruh bangsa yang ada di dunia, pernah hidup dengan aman, damai, sejahtera dan merasakan keadilan yang luar biasa selama berabad-abad. Tidak ada diskriminasi atas dasar ras, suku dan bangsa. Wilayahnya terbentang dari ujung Timur ke Barat, dan dari Utara ke Selatan, lebih dari 22 juta km2, atau dua kali lipat wilayah Amerika Serikat.
Kepala negaranya pun pernah dijabat oleh orang Arab, sejak zaman Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, ‘Abbasiyyah, hingga non-Arab, yaitu Khilafah ‘Utsmaniyah. Ibukotanya pun berpindah-pindah, dari wilayah Arab, yaitu Madinah, berpindah ke Persia, Kufah, berpindah ke Syam, Damaskus, berpindah lagi ke Persia, Baghdad, berpindah ke Afrika, Mesir, hingga terakhir ke Eropa, Istanbul. Karena itu siapapun—dari suku, ras dan bangsa manapun—bisa hidup di bawah naungan Khilafah dengan aman, damai, sejahtera dan merasakan keadilan.
Kedua: Meski Islam menjadi dasar, pedoman dan pandangan hidupnya, karena itu Khilafah disebut Negara Islam (Daulah Islamiyah), Khilafah tidak hanya untuk orang Islam. Orang non-Muslim pun bisa hidup di dalamnya dengan aman, damai, sejahtera dan merasakan keadilan yang luar biasa. Karena itu di dalam Khilafah, warga negaranya dibagi menjadi dua, Muslim dan Dzimmi, karena Khilafah adalah Negara Islam.
Meski ada pemilahan, Muslim dan Dzimmi, baik Muslim maupun Ahli Dzimmah mempunyai hak dan kewajiban yang sama, kecuali dalam hal-hal yang menjadi kekhususan masing-masing. Karena itu meski Ahli Dzimmah non-Muslim, tidak ada diskriminasi terhadap hak-hak mereka. Mereka juga tidak dipaksa memeluk Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Sebaliknya, mereka dibiarkan tetap memeluk agama mereka, dengan syarat, mereka taat dan patuh pada sistem Islam yang berlaku di seluruh wilayah Khilafah.
Karena itu non-Muslim yang hidup di bawah naungan Khilafah, meski mereka tetap memeluk agama mereka, agama dan keyakinan mereka dilindungi oleh Islam. Nabi saw. bersabda:
مَنْ أَذَى ذَمِيًّا فَأَنَا خَصَمَهُ
Siapa saja yang menganiaya Ahli Dzimmah, akulah yang akan menjadi penuntutnya (HR al-Khatib al-Baghdadi).[1]
Karena itu tiga agama besar di dunia—Yahudi, Nasrani dan Islam—bisa hidup berdampingan dengan aman, damai dan merasakan keadilan yang luar biasa. Begitu juga para pemeluknya. Di Spanyol, tercatat mereka hidup berdampingan dengan aman, damai dan merasakan keadilan lebih dari 800 tahun di bawah naungan Khilafah.[2] Begitu juga di wilayah-wilayah Islam, seperti Suriah, Palestina, Yordania, Libanon, Mesir dan lain-lain sejak abad ke-1 H hingga Khilafah runtuh pada abad ke-14 H.[3]
Selain tidak dipaksa meninggalkan agama mereka, tempat ibadah dan peribadatan mereka juga dilindungi oleh Khilafah. Hukum yang diberlakukan kepada mereka juga sama, antara Muslim dan non-Muslim; kecuali dalam masalah akidah, ibadah, makanan dan perkawinan. Karena itu ketika mereka mencuri, membunuh, berzina dan melakukan tindakan kriminal lainnya, sanksinya sama dengan orang Islam.
Bahkan terkait dengan jaminan hidup, baik yang menyangkut kebutuhan pokok perindividu (seperti sandang, papan dan pangan) maupun kebutuhan pokok secara kolektif (seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan), mereka mempunyai hak yang sama dengan orang Islam. Semuanya dijamin dan dipenuhi negara tanpa membeda-bedakan antara Muslim dan non-Muslim.
Ketiga: Meski Khilafah mengadopsi hukum Islam yang digali oleh para mujtahid, Khilafah bukanlah negara mazhab. Karena itu seluruh mazhab di dalam Islam—baik Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali dan lain-lain—bisa hidup dan berkembang. Seluruh mazhab ini boleh diajarkan, didakwahkan dan diterapkan di tengah masyarakat oleh para pengikutnya, kecuali dalam hal-hal yang menjadi hukum positif yang telah diadopsi oleh negara.
Pada zaman keemasan Islam, ketika jumlah mujtahid mencapai ribuan, bahkan jutaan, Khilafah tidak pernah mengadopsi hukum A sampai Z sehingga dibakukan dalam satu kodifikasi hukum Islam. Sebaliknya, semua itu diserahkan kepada wali dan qadhi di masing-masing wilayah. Namun, setelah muncul fatwa penutupan pintu ijtihad, dan jumlah mujtahid pun langka, barulah Khilafah ‘Utsmaniyah, pada zaman Sulaiman al-Qanuni, menerapkan perundang-undangan di seluruh wilayahnya, dengan menggunakan kitab, Multaqa al-Abhur.
Meski demikian, kebijakan ini tidak menghalangi tumbuh dan berkembangnya mazhab-mazhab di dalam Islam. Ini bisa dibuktikan, pada zaman itu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi masih banyak halqah ulama dari lintas mazhab. Ada mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Di sana kaum Muslim pun bisa belajar berbagai mazhab. Kondisi ini berubah setelah kedua tanah suci kaum Muslim ini jatuh ke tangan Rezim Saud.
Bersadarkan ketiga fakta ini, belum lagi sejarah panjang peradaban Islam dan kaum Muslim di bawah naungan Khilafah, sebagaimana yang ditulis oleh Will Durant, dalam Târîkh al-Hadhârah, masihkah ada yang mengatakan, bahwa Khilafah tidak bisa menjadi rumah bersama umat manusia, atau umat beragama?
Fakta-fakta yang ada, baik secara normatif, historis maupun empiris, membuktikan sebaliknya. Bahwa satu-satunya ideologi dan negara yang bisa menjadi rumah bersama, menjamin keamanan, kedamaian, kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya dalam rentang wilayah yang begitu luas, dan waktu yang panjang tak ada yang lain, kecuali Islam. Jadi, aneh jika ada orang Islam yang meragukan, bahkan memusuhi Islam dan Khilafah.
Karena itu jika ada orang Islam seperti itu, hanya ada dua kemungkinan. Pertama: Dia bodoh, tidak mengerti fakta-fakta Islam dan Khilafahnya. Kedua: Otaknya dicuci oleh negara kafir penjajah sehingga mempunyai paham yang salah, lalu membenci dan memusuhi Islam dan Khilafahya. Mereka inilah yang kemudian digunakan untuk menghadang dan menyerang Khilafah, sebagaimana yang distigmatisasi oleh negara kafir penjajah, karena bisa mengancam kepentingan mereka di negeri kaum Muslim.
WalLâhu a’lam. []
Catatan kaki:
[1] Meski sebagian ulama’ hadis menyatakan hadis ini lemah, makna hadis ini telah dikuatkan oleh sejumlah hadis, yang sanad dan perawi yang kuat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya. Karena status hadis ini, setidaknya hasan, dan bisa digunakan sebagai hujah.
[2] Ini diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarahwan Eropa, dalam Spain in the Three Religion.
[3] Selain bukti normatif dan historis, bukti empiriknya sampai saat ini masih bisa dilihat di Yordania, Palestina, Mesir dan Istanbul, di mana peninggalan non-Muslim masih utuh, tidak ada yang dirusak oleh Khilafah.