Jejak Khilafah Di Sulawesi: Menyibak Jalinan Politik & Spiritual yang Dilupakan (3)
Ketika pulau-pulau di sekeliling Sulawesi sedang ramai dengan aktivitas dakwah dan jihad koalisi Muslim dari berbagai kesultanan melawan kekuatan Portugis, raja-raja di Sulawesi—khususnya di semenanjung selatan pulau—baru sebatas mengamati perkembangan konstelasi antara dua poros tersebut. Para karaeng (bangsawan di Makassar) dan arumpone (bangsawan di Bugis) tidak banyak ikut campur dalam persengketaan Islam versus Katolik. Pelabuhan-pelabuhan mereka terbuka bagi siapa saja yang hendak berlabuh, berdagang atau bahkan menyebarkan pengaruh agamanya. Hal ini tentu dimanfaatkan para pendeta Katolik dari Portugis yang bercita agar tiang salib tegak di seluruh dunia.
Tahun 1525 menjadi tahun pertama orang-orang Portugis menapakkan kaki mereka di Makassar. Tuhan-tuhan Katolik mereka coba perkenalkan kepada masyarakat Sulawesi, tetapi mengalami kebuntuan karena orang-orang di sana “kurang bersahabat” dengan para pendatang Portugis yang masih sangat asing bagi orang Makassar.
Usaha kristenisasi berikutnya dicoba di tahun 1544. Kapten Mayor Portugis di Melaka, Ruy Vaz Pereira (menjabat 1542-1544) mengirim Antonio de Paiva, seorang pedagang Katolik yang dua tahun sebelumnya pernah ke Sulawesi sehingga pandai bahasa setempat. Dia memulai aktivitasnya dengan berlabuh di Teluk Parepare yang dikuasai Kerajaan Suppa. Kali ini de Paiva menoreh sedikit keberhasilan. Melalui kinerjanya, raja-raja Sulawesi di Suppa, Siang dan Bacukiki bisa dibaptis. Walau begitu, de Paiva masih menemui halangan yang menyulitkan dalam usaha pembaptisannya. “Lawan saya adalah pendatang Melayu Islam… dari Sentana (Ujong Tanah/Johor), Pao (Pahang), dan Patane (Pattani) yang berusaha agar raja mengubah maksudnya (memeluk Katolik),” keluh de Paiva.
Menurut dia, orang Melayu yang agamanya sama dengan Islam-nya orang Moor di Andalus sudah 60-an tahun lebih awal datang ke Sulawesi sebelum de Paiva; yakni, sekitar tahun 1480-an.1
Jadi, sebelum kedatangan Trio Datu’ (Makassar: Dato’ Tallua, Bugis: Dato’ Tellue) yang masyhur pada awal abad ke-17, sesungguhnya masyarakat Sulawesi Selatan sudah mengenal kaum Muslim beserta Islam sebagai agama mereka. Sumber Kelantan menyebutkan: Imam Jamaluddin al-Husayni bin Amir Syah Jalal, yang terkenal di Jawa sebagai Syaikh Jumadil Kubra, pergi dari Kelantan pada 1448 dan tinggal selama empat tahun di Jawa. Setelah berdakwah di lingkungan Majapahit, Syaikh Jumadil Kubra pergi ke Wajo’ dan menyebarkan Islam sampai wafatnya di sana pada tahun 1453 (tahun yang sama dengan takluknya Konstantinopel oleh Sultan Mehmed al-Fatih).2
Usaha dakwah yang dimulai Syaikh Jumadil Kubro di Wajo’ belum terdengar luas. Lalu, hampir seratus tahun berikutnya, tepatnya pada 1548, seorang Portugis bernama Maneul Pinto melapor kepada bishop Katolik di Goa India tentang niat seorang “raja Jawa yang utama” (kemungkinan Sultan Demak ke-4, Sunan Prawoto) untuk mempersiapkan ekspedisi jihad guna mem-futuhat Makassar.3 Niat tersebut tak kesampaian karena Sunan Prawoto sendiri syahid pada tahun 1549.
Kemudian sekitar tahun 1.560, keinginan untuk mengislamkan Sulawesi Selatan datang dari Kesultanan Aceh. Dalam sebuah sumber Aceh, Abangta ‘Abdul Jalil, raja muda (wakil sultan) Aceh untuk wilayah Aru, pergi berlayar ke Sulawesi Selatan bersama rombongan ulama. Abangta ‘Abdul Jalil yang kelak menjabat posisi sultan dengan gelar Sultan Sri ‘Alam, adalah anak Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar; sultan Aceh yang memulai hubungan intens dengan Khilafah ‘Utsmaniyyah.4
Sumber Aceh tadi mengklaim bahwa dakwah Abangta ‘Abdul Jalil sukses sehingga “tidak berapa lama Radja Boni pun masuk Islam”.5
Belum ada sumber Lontara’ yang mengafirmasi masuk Islamnya seorang Arumpone Bone pada tahun 1560-an. Mungkin saja yang dimaksud sumber Aceh itu adalah salah satu tomarilaleng (wazir sultan) Bone. Itu pun belum tentu masuk Islam. Bisa jadi hanya sebatas mendukung. Bagaimanapun, sumber Aceh itu menyebutkan bahwa Abangta ‘Abdul Jalil menikahi seorang perempuan Bugis yang nantinya akan melahirkan Daeng Manshur; nenek moyang sultan-sultan Aceh dari dinasti Bugis yang nanti akan dibahas di tempatnya sendiri dalam makalah ini.
Setelah Demak dan Aceh, kali ini Ternate memainkan debutnya untuk mengislamkan Sulawesi. Sultan Babullah Datuk Syah, penguasa agung Ternate, berhasil secara total mengusir Portugis dari seluruh wilayahnya pada 1575 dan membawa kesultanan di Maluku itu menuju era kejayaan. Lima tahun kemudian, 1580, Sultan Babullah mengadakan kunjungan diplomatik kepada Karaeng Gowa: I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa, yang setelah meninggal disebut Tunijallo’ (berkuasa 1565-1590). Sumber Maluku mencatat bahwa Tunijallo’ bersedia masuk Islam melalui dakwah Sultan Babullah.6
Lagi-lagi sumber Lontara’ tidak mengonfirmasi hal demikian. Justru sejarahwan menyimpulkan bahwa Tunijallo’ menolak tawaran Sultan Babullah karena eengganannya berada di bawah dominasi Ternate, yang pengaruh kekuasaannya demikian luas hingga mencapai Pulau Selayar, tidak seberapa jauh di depan Makassar.7
Sebagai negara-negara Islam awal di kepulauan Jawi yang punya konektivitas dengan Khilafah ‘Utsmaniyah, tiga kesultanan di atas (Aceh, Demak, dan Ternate) sudah berusaha mengislamkan para penguasa Sulawesi Selatan. Namun, mereka belum sukses. Bukan berarti usaha dakwah mereka sepanjang abad ke-16 gagal sama sekali. Ada beberapa orang asli Makassar dan Bugis yang berhasil diislamkan. Begitu juga mustahil jika usaha-usaha dakwah tiga kesultanan tadi tidak menimbulkan kesan bagi para karaeng maupun arumpone. Meski belum menyatakan kesediaan untuk masuk Islam, minimal hati mereka pasti bertanya-tanya: Mengapa banyak sekali yang mengundang mereka masuk Islam? Mengapa Islam diterima menjadi agama negara oleh raja di pulau-pulau tetangganya dengan begitu semangat? Ada apa dengan agama ini?
Perlahan tapi pasti, Islam menjadi perbincangan di tengah masyarakat Sulawesi dan menjadi opini umum. Mereka penasaran dengan agama yang mereka dengar berasal dari negeri Arab dan dibawa seseorang bernama Muhammad. Islam segera menjadi alternatif kebenaran yang berpotensi menggantikan kepercayaan lama. Diskursus kebenaran dan hakikat kehidupan mulai dipertanyakan ulang sebagai pengaruh dari pemikiran Islam akan ketuhanan dan ketauhidan Allah ‘Azza wa Jalla.
Inilah yang tampak dari perbincangan antara Karaeng Matoaya I Mallingkaang Daeng Manyonri’, pangeran Tallo’ muda yang belum menjabat sebagai penguasa—kelak dikenal sebagai Sultan ‘Abdullah Awwal al-Islam, dengan seorang bijak dari Bugis bernama Arung Matoa La Mangkace’ To Uddama. Ketika itu tahun 1591. Pertemuan kedua orang besar ini ditujukan untuk membicarakan kemungkinan Tallo’ bersekutu dengan Wajo’. Di sela-sela pertemuan, mereka berdiskusi tentang bagaimana seseorang harus bersikap terhadap sesamanya dan terhadap Tuhan. Diskusi ini mencerminkan sikap religius yang tulus dan dapat menjadi saksi bahwa keduanya telah dipengaruhi pemikiran “agama luar” dalam rangka mencari kebenaran.8 [Nicko Pandawa]
Catatan Kaki:
1 Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.
2 Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.
3 Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur: Maluku dan Luwu, (Jakarta: Direktorat Sejarah, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, 2016), 18-19, 30; Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, Archipel, vol. 29, (1985), 110.
4 Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 110; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction, (Johor Bahru: Universiti Teknologi Malaysia Press, 2012), 90. Makam Syaikh Jumadil Kubro sampai saat ini masih ada di Tosora, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan.
5 Surat Manuel Pinto (bukan Ferdinand Mendez Pinto) kepada Bishop Goa di India, 7 Desember 1548. Dalam Joseph Wicki, Documenta Indica: Monumenta Societatis Jesu a patribus eusdem Societatis edita, Rome, Vol. II (150-1553), 422-423. Dikutip dari Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 111.
6 Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh, (Leiden: Brill, 2004), 66, 75.
7 HM. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), 259.
8 Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 112.
9 Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, (Leiden: KITLV, 1981), 30.
10 Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 112.