Jejak Khilafah Di Sulawesi Menyibak Jalinan Politik & Spiritual yang Dilupakan (4)
Trio Datu’ Minangkabau dan Strategi Dakwah Thalab an-Nushrah
Pergulatan pengaruh antara kaum Muslim Melayu dan Portugis di Sulawesi begitu sengit sepanjang abad ke-16. Kebebasan yang diberikan para karaeng kepada semua bangsa untuk beraktivitas di pelabuhan-pelabuhan mereka menjadikan fenomena persaingan antara Islam dan Katolik begitu hangat. Ketika Antonio de Paiva, orang Portugis yang pada tahun 1544 berhasil mengkristenkan raja Suppa, Siang dan Bacukiki mengeluhkan tentang kaum Muslim dari Melayu yang berusaha menghalang-halangi misinya, kaum Muslim pun tidak kalah resahnya dengan aktivitas orang Portugis. Sebuah Lontara’ Wajo’ mencatat ketidaksenangan orang-orang Islam Melayu setelah melihat sejumlah orang Makassar dan Bugis dipengaruhi ajaran agama Katolik yang disebarkan para panrita lompo, alias misionaris Portugis.3
Para pedagang Islam bangsa Melayu inilah yang menjadi saksi mata tentang kristenisasi raja-raja Sulawesi oleh Portugis. Melalui jaringannya sekepulauan Jawi, melaporkan hal demikian ke sultan-sultan Islam yang sudah punya kekuatan di Aceh, Demak dan Ternate. Laporan pedagang Melayu itu direspon oleh penguasa Aceh. Selain kisah tentang Abangta ‘Abdul Jalil yang berlayar ke Bone pada 1560-an yang sudah disebutkan di atas, sumber Kutai mencatat bahwa pada tahun 1575 dikirim lagi dua orang ulama Minangkabau dari Aceh ke Sulawesi. Mereka adalah Syaikh ‘Abdul Ma’mur—yang kelak dikenal sebagai salah satu dari Trio Datu’—dan Tuan Tunggang Parangan.
Mereka datang ke Makassar dan sudah mencoba menyampaikan Islam kepada masyarakatnya. Namun, usaha ini menemui kebuntuan karena kegemaran orang Makassar saat itu dalam memakan dendeng babi, hati rusa mentah yang disajikan dengan bumbu dan darah (lawa’ dara), serta kebiasaan minum tuak yang masih sulit ditinggalkan.
Akhirnya, Syaikh ‘Abdul Ma’mur dan Tuan Tunggang Parangan mengalihkan dakwahnya ke tanah seberang: Kutai di Kalimantan Timur. Di Kutai mereka berhasil mengislamkan penguasanya, yaitu Raja Aji Makota. Tuan Tunggang Parangan tetap berdiam di Kutai sampai akhir hayatnya, sementara Syaikh ‘Abdul Ma’mur meninggalkan negeri itu.4
Ternyata Syaikh ‘Abdul Ma’mur masih tidak puas dengan buntunya dakwah yang ia lakukan di Makassar pada tahun 1575. Sekitar 28 tahun kemudian, tepatnya pada 10 Rabi’ al-Awwal 1012 / 18 Agustus 1603, ia datang lagi ke Sulawesi bersama dua orang sahabatnya, yang kemungkinan besar kakak-beradik. Mereka semua berasal dari Koto Tangah (Padang) di Minangkabau yang kala itu di bawah kuasa Kesultanan Aceh. Tiga ulama luar biasa inilah yang kelak dikenang sebagai Trio Datu’ (Makassar: Dato’ Tallua, Bugis: Dato’ Tellue), para Datu’ yang sukses menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan. Peran mereka setara dengan Sembilan Wali (Wali Songo) yang mengharumkan Islam di pulau Jawa. Ketiga Datu’ itu adalah:
- Syaikh ‘Abdul Ma’mur, alias Khatib Tunggal. Setelah wafat disebut sebagai Datu’ ri Bandang (Gowa).
- Syaikh Sulayman, alias Khatib Sulung. Setelah wafat disebut sebagai Datu’ ri Pattimang (Malangke, Luwu’).
- Syaikh ‘Abdul Jawad, alias Khatib Bungsu. Setelah wafat disebut sebagai Datu’ ri Tiro (Bontotiro, Bulukumba).5
Nisbah tempat di gelar mereka masing-masing menunjukkan kalau Trio Datu’ tersebut membagi tugas dakwah berdasarkan suatu wilayah kerja. Pembagian tersebut mencerminkan strategi dakwah jitu dalam mengincar para pemilik kekuatan politik (ahl al-quwwah) yang diharapkan dapat menjadi kekuasaan penolong dakwah (sulthaan[an] naashir[an]). Mereka meneladankan strateginya pada amal dakwah Rasulullah Muhammad saw.
Sebagaimana diketahui, selama periode dakwah di Makkah, Rasulullah saw. menargetkan pimpinan suku-suku Arab terkemuka agar mau masuk Islam dan menolong dakwah via instrumen kekuasaan mereka. Setiap musim haji pada bulan Dzulhijjah, Rasulullah saw. rutin menyambangi kemah-kemah pemimpin Bani Syayban, Bani Kindah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Bani Abu Hanifah, dan seterusnya. Akhirnya, dua suku dari kota Yatsrib, Aus dan Khazraj, mau menolong dakwah Islam sehingga terjadilah peristiwa yang kita kenal sebagai Baiat ‘Aqabah. Demikianlah metode dakwah Rasulullah yang kemudian dikenal sebagai Thalab an-Nushrah, yakni meminta dukungan para ahl al-quwwah dalam menolong dakwah. Dalam hal ini, Syaikh Atha’ bin Khalil menyimpulkan: “Konsistensi Rasulullah saw. dalam menempuh metode tertentu untuk menegakkan Daulah, yakni thalab an-nushrah, dan keteguhan beliau menghadapi kesulitan tanpa mengubah metode ini menunjukkan bahwa aktivitas thalab an-nushrah untuk menegakkan Daulah Islamiyah merupakan kewajiban dari kewajiban yang ada.”6
Pada awalnya, Trio Datu’ Minangkabau mendarat di bandar Makassar. Mereka disambut kaum Muslim dari komunitas Melayu yang sudah lama bermukim di Gowa sebagai pedagang. Sejak masa Karaeng Bontolangkasa Tunijallo, para pedagang Islam ini sudah dijamin eksistensinya karena diberi pemukiman sendiri (Kampung Melayu) oleh Tunijallo di Mangallekana (Somba Opu), bahkan dibolehkan untuk membangun masjid—walau penguasa Gowa tersebut masih enggan memeluk Islam. Syaikh ‘Abdul Ma’mur, Sulayman dan ‘Abdul Jawad rutin mengadakan pertemuan dengan para pedagang Melayu di masjid Mangallengkana tanpa keikutsertaan pembesar Kerajaan. Dari pertemuan yang dimaksudkan untuk menggali informasi lapangan itu, Trio Datu’ memperoleh kesimpulan: agar Islam mudah diterima masyarakat Sulawesi, dakwah harus diawali terlebih dulu di Luwu’, bukan di Gowa. Pasalnya, walaupun “kekuasaan ada di Gowa, kemuliaan sebenarnya berada di Luwu’” (ri Luwu’ alebbirenna, ri Gowa awatanna).7
Dengan letaknya yang ada di pangkal Teluk Bone, Luwu’ adalah kedatuan tertua di Sulawesi Selatan yang dari sanalah seluruh raja di jazirah ini berasal. Berdasarkan kitab I La Galigo, penduduknya percaya bahwa wilayah mereka, yaitu Bukit Lampenai yang ada di timur Wotu, adalah tempat pertama kali Batara Guru turun dari langit mengajarkan manusia bercocok tanam. Zaman ketika Batara Guru turun di Luwu’ disebut sebagai periode “manusia awal” (mula ito mamulae).
Dengan demikian Luwu’ memegang prestise politik yang sangat dihormati sekaligus pusat mitologi seluruh Sulawesi Selatan.8 Mengislamkan penguasanya akan menjadi langkah efisien yang diharap akan diikuti kerajaan-kerajaan turunannya. Berangkatlah Trio Datu’ ke wilayah Kedatuan Luwu’ yang kala itu dipimpin La Patiware Daeng Parabung.
Catatan kaki:
a Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.
b Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.
1 Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur, 30-31.
2 Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 112; Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur, 30.
3 Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo: Telaah Ulang Awal Islamisasi di Wajo, (Tangerang Selatan: LSPI, 2011), 415.
4 ‘Atha bin Khalil, Taysir al-Wushul ila al-Ushul, jilid I (Beirut: Dar al-Ummah), 19-20.
5 Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 119.
6 Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur, 42.
.