Catatan Dakwah

Wajah Ndeso

Jokowi otoriter. Itu kesimpulan sejumlah pengamat asing terhadap performa pemerintahan Jokowi, khususnya di bidang politik.

Dulu, saat pencalonan presiden 2014, yang kerap dikhawatirkan bakal menjadi presiden otoriter adalah Prabowo. Dugaan itu tak lepas dari latar belakang Prabowo yang militer. Sosok yang militeristik memang membuat siapapun mudah sekali diasosiasikan dengan  tindakan yang tegas dan keras, termasuk kepada lawan-lawan politiknya. Ini pula yang dijadikan bahan oleh para pendukung Jokowi untuk menakut-nakuti publik agar tidak mendukung Prabowo.  Pendek kata, siapa saja yang mendukung Prabowo berkuasa diopinikan sama dengan membiarkan Indonesia menuju jaman kegelapan. Diktatorisme dan otoritarianisme ala Orde Baru, demikian biasa mereka menyebut, pasti akan bangkit kembali.

Di sisi lain, Jokowi berlatar sipil, pengusaha. Orang bilang berwajah lugu lagi ‘ndeso’. Jauh dari kesan angker. Karena itu, bila dibandingkan dengan Prabowo, Jokowi ketika itu dipandang lebih berwajah ‘demokratis’. Di tangannya, kebebasan dijamin pasti akan terjaga.

Soal wajah yang ‘ndeso’ pula yang dijadikan Jokowi untuk menepis tudingan dirinya otoriter. Suatu hari, di kampung halamannya, Solo, Presiden Jokowi melontarkan pertanyaan retoris kepada wartawan. “Ada yang menyampaikan, itu presiden ndeso, presiden klemar-klemer, tidak tegas. Masak iya, orang seperti ini mau jadi diktator dan bertindak otoriter?”

++++

Dalam banyak budaya di dunia, termasuk di Indonesia, terdapat tradisi  membaca wajah. Mereka percaya, wajah adalah cermin diri. Dari wajah bisa diterka bagaimana perilaku dan sepak terjangnya. Dalam literatur disebut fisiognomi.

Dalam budaya Jawa, menilai seseorang dengan melihat wajah atau ciri-ciri fisik lainnya disebut nyondro. Cara ini tidak selamanya tepat. Faktanya, banyak wajah dan penampilan fisik  ternyata tidaklah berkesesuaian dengan kelakuannya. Ketidaksesuaian ini dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah nyolong pethek. Orangnya cantic, tetapi judes. Wajahnya tampak keras lagi garang, tetapi tindakannya lemah lembut. Sebaliknya, wajah tampak manis, tetapi sadis habis. Kelihatan kekanak-kanakan, tetapi ternyata sikapnya sangat dewasa.

Seorang diktator dan otoriter biasanya digambarkan punya wajah yang keras dan kejam, seperti Stalin dari Uni Soviet, atau jenderal bermuka nanas, Manuel Noriega dari Panama. Namun, ada juga yang walaupun terkenal keras, berwajah lucu seperti Hitler. Kumis Hitler yang kepotong separoh mengingatkan kita kepada komedian  Charlie Chaplin. Diktator muda Kim Jong Un dari Korea Utara tampak sangat culun, tetapi kejamnya tidak ketulungan.

Nyolong pethek mengingatkan kita pada istilah dalam bahasa Inggris yang sangat terkenal: Don’t judge the book by its cover. Intinya, kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya. Dalam bahasa anak muda, jangan terpukau  casing-nya. Bisa tertipu. Bisa kecele.

Maka dari itu, orang yang tampak  klemar-klemer dan berwajah ndeso bukan berarti tidak bisa menjadi diktator dan bersikap otoriter. Seseorang bisa disebut sebagai diktator, otoriter bukan dilihat dari tampilannya atau wajahnya, tetapi dari perilakunya. Kalau dia presiden, dapat dilihat dari bagaimana cara dia memerintah dan menjalankan kekuasaannya.

Benarlah. Waktu kemudian membuktikan. Wajah yang katanya lugu lagi ‘ndeso’ itu ternyata tidak otomatis pasti ‘demokratis’. Ternyata, banyak tindakan dan kebijakan Jokowi yang justru dinilai ‘anti demokrasi’.  Para pengamat asing menunjuk  beberapa bukti. Di antaranya, tindakan Jokowi membubarkan HTI melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), pembubaran berbagai aksi gerakan hastag #2019GantiPresiden, penggunaan instrumen hukum untuk  menekan lawan politik, serta pelibatan kembali militer dalam  politik  sebagai  indikator perubahan arah dan gaya  pemerintahan Jokowi.

Jokowi terbukti menjadi pemimpin yang tidak sabar dan reaktif. Dia dengan mudah tersentak oleh ancaman politik, dan seperti banyak politisi Indonesia, tampaknya nyaman menggunakan alat-alat tidak liberal untuk mempertahankan posisi politiknya,” tulis Eve Warburton dan Edward Aspinall dalam artikel berjudul “Indonesian democracy: from stagnation to regression?” di laman The Strategist yang diterbitkan Australian Startegic Policy Institut.

Tim Lindsey dari University of Melbourne malah menyebut Jokowi sebagai Neo-Orde Baru. Dalam artikelnya berjudul “Jokowi in Indonesia’s ‘Neo-New Order” di laman EastAsiaForum.org,  Lindsey menyoroti meningkatnya penggunaan tuduhan kriminal palsu untuk membungkam kritik terhadap Pemerintah dan aktivis antikorupsi serta meningkatnya pembunuhan di luar hukum terhadap tersangka terorisme.

Kesimpulan serupa diberikan Greg Fealy, Indonesianis terkemuka dari ANU, Australia, dalam wawancara dengan Kumparan.com. Menurut dia, satu hal yang Jokowi lakukan dan buruk bagi demokrasi Indonesia adalah ia menggunakan negara untuk melarang dan menindas oposisi Islam. Misalnya, pembubaran HTI. Pembubaran itu adalah langkah politis. HTI selama bertahun-tahun masih bersikap sama. Sudah lama terkenal soal sikapnya terhadap Khilafah, Pancasila, dan sebagainya. Terutama di tingkat nasional. Tidak ada perubahan sikap kepemimpinan HTI tentang Indonesia, UUD 1945, dan sebagainya. “Jadi, saya kira ini direkayasa. Ada mobilisasi dari NU untuk melawan HTI untuk memberikan dalih kepada Pemerintah guna menindak tegas HTI.

Menurut dia, hal ini bertentangan dengan hak untuk berserikat dan berkumpul. Apakah HTI betul-betul melanggar hukum? Menurut dia pula, itu belum jelas. “Sekarang para kritikus dan para pendukung Jokowi sama-sama bertanya, seberapa aman sebenarnya (demokrasi) Indonesia dari kemunduran menjadi negara otoriter,” tulis Matthew Busch dalam artikelnya berjudul “Jokowi’s Panicky Politics” yang ditulis di laman Majalah Public Affairs.

++++

Demikianlah. Jauh hari, Rasulullah yang mulia sudah wanti-wanti; mengingatkan kita untuk tidak terkecoh pada tampilan luar. Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah tidak melihat bentuk rupa kalian dan tidak juga harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian.” (HR Muslim).

Jelaslah, bukan wajah, bukan pula tampilan luar, tetapi perbuatan dan tentu saja pemikiran yang menentukan kualitas kepribadian seseorang. Apalagi untuk seorang presiden atau kepala negara. Tindakan atau kebijakannyalah yang semestinya disorot dan dijadikan dasar untuk menilai yang bersangkutan. Bukan wajahnya yang tampak ‘ndeso’ atau postur tubuhnya yang klemar klemer. Bila ia berbuat di luar hukum, maka ia harus dinyatakan sebagai telah bertindak zalim. Bila itu dilakukan berulang, apalagi dalam skala yang makin besar, maka layak ia disebut diktator dan otoriter.  Di manapun, diktatorisme dan otoritarianisme tidak boleh dibiarkan, Apalagi bila itu dilakukan untuk memukul Islam dan umatnya yang ingin syariah  tegak secara kâffah. Penguasa seperti ini harus segera dihentikan. Tak peduli, seberapa ‘ndeso’pun wajah pelakunya dan secungkring apapun tubuhnya. [H.M. Ismail Yusanto]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 2 =

Check Also
Close
Back to top button