Dari Redaksi

Terkait Pencabutan SK BHP HTI

PEMERINTAH BANYAK MELANGGAR HUKUM

Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mencabut SK BHP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih menyisakan banyak masalah. Hal ini tampak jelas dalam sidang-sidang di Mahkamah Konsitusi dan PTUN yang masih berlangsung hingga saat ini. Poinnya sangat jelas. Tindakan Pemerintah melanggar hukum, tidak sah, penuh kebohongan dan zalim.

Pelanggaran hukum ini tampak jelas sebagaimana yang disampaikan kuasa hukum Penggugat  dari Kantor Ihza & Ihza Law Firm dalam surat gugatannya. Pemerintah sebagai tergugat antara lain melanggar UU no 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 55 ayat (1). Pasalnya, penerbitan objek sengketa tidak mencantumkan alasan pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis yang menjadi dasar penetapan Keputusan. Pemerintah juga melanggar Pasal 9 ayat (3). Pasalnya, Pemerintah  tidak mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan dan dasar dalam menetapkan atau melakukan keputusan atau tindakan. Pelanggaran juga terjadi karena Pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum keputusan atau tindakan diambil (pasal 7 huruf f).

Tergugat juga melanggar UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia karena tidak memperlakukan penggugat sama di hadapan hukum (pasal 4) dan menghilangkan hak penggugat untuk memperoleh keadilan (pasal 17). Tergugat (Pemerintah) pun telah melanggar UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman karena: menghilangkan hak Penggugat untuk didengar keterangannya (Pasal 4 ayat 1) dan tidak memperlakukan Penggugat untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya (Pasal 8 ayat 1). Artinya, keberadaan Pengadilan dan prosesnya yang menjadi perkara penting bagi siapapun untuk mendapatkan keadilan justru dihilangkan berdasarkan Perpu No. 2 Tahun 2017.

Prinsip hukum  penting, yakni ”due process of law”, sebagai salah satu ciri negara hukum juga telah dilanggar. Hal ini ditegaskan Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH., MH, salah satu saksi ahli. Menurut Zainal Arifin, ketentuan Pasal 68 dan Pasal 69 UU No. 17 Tahun 2013 yang mengedepankan ”due process of law” justru dicabut oleh Perpu No. 2 Tahun 2017, yang menjadi dasar pencabutan SK BHP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut ia pula norma hukum prosedur itu haruslah bersifat fair. Artinya, ketentuan-ketentuan tentang prosedur tidak boleh menurut selera penyelenggara kekuasaan negara. Kalau ini terjadi, paparnya, akan membuka peluang selebar-lebarnya bagi penggunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Negara bisa jadi akan berubah dari negara hukum menjadi negara kekuasaan yang dijalankan sesuai dengan kepentingan penguasa.

Tindakan Pemerintah jelas zalim. Kewenangan Pemerintah, dalam hal ini Menkumham, mencabut status badan hukum sekaligus membubarkan ormas tanpa proses peradilan adalah kewenangan yang diberikan oleh Perppu No. 2 Tahun 2017 yang kontroversial. HTI memandang keputusan tersebut adalah bentuk kesewenang-wenangan  yang nyata. Hingga saat ini tidak jelas pelanggaran apa yang sudah dilakukan oleh HTI karena tidak pernah ada surat peringatan  atau penjelasan yang diberikan Pemerintah kepada pihak HTI.

Selain itu sangat nyata sekali bagaimana Pemerintah melakukan banyak kebohongan terkait dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Alasan Pemerintah bahwa HTI tidak memberikan konstribusi positif dan malah menimbulkan benturan adalah kebohongan besar. Secara faktual, HTI selama lebih dari 25 tahun telah terbukti  mampu melaksanakan kegiatan dakwahnya secara tertib, santun dan damai, serta  sesuai prosedur yang ada.  Oleh karena itu, tudingan Pemerintah bahwa kegiatan HTI telah menimbulkan benturan yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI adalah tudingan mengada-ada.

Melalui kegiatan dakwah yang dilakukan secara intensif di seluruh wilayah Indonesia, HTI telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan SDM negeri ini, yakni SDM yang bertakwa dan berkarakter mulia. Ini jelas sangat diperlukan bagi kemajuan negara ke depan di tengah berbagai krisis seperti korupsi yang berpangkal pada lemahnya integritas SDM yang ada. Selain itu HTI juga terlibat dalam usaha mengkritisi berbagai peraturan perundangan liberal yang bakal merugikan bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, juga UU Sisdiknas dan lainnya; sosialisasi anti narkoba; menentang gerakan separatisme dan upaya disintegrasi. HTI juga terlibat dalam usaha membantu para korban bencana alam di berbagai tempat, seperti tsunami Aceh (2004), gempa Jogjakarta (2006) dan lainnya. Oleh karena itu, tudingan bahwa HTI tidak memiliki peran positif tidaklah benar.

Lantas mengapa HTI dibubarkan? Jawabannya adalah sangat jelas, karena HTI memperjuangkan Islam, menginginkan tegaknya syariah Islam secara totalitas di bawah naungan Khilafah Islamiyah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Jadi, pencabutan  BHP HTI hanyalah sasaran antara. Sasaran sesungguhnya adalah untuk mencegah kebangkitan umat Islam dengan tegaknya syariah Islam secara total. Inilah yang sesungguhnya ditakuti oleh rezim-rezim boneka di negeri-negeri Islam sekarang ini. Ini mewakili ketakutan negara-negara imperialis akan tegaknya kembali Khilafah Islam.

Maka dari itu, tidak mengherankan kalau dalam sidang MK, PTUN, maupun propaganda rezim penguasa saat ini, melalui alat-alat kekuasannya, maupun intelektual bayaran, berupaya membangun citra negatif terhadap Khilafah Islam dengan melakukan monsterisasi dan kriminalisasi. Padahal sangat jelas bahwa Khilafah merupakan ajaran Islam yang akan menerapkan seluruh syariah Islam yang membawa kebaikan pada seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).

Apa yang disampaikan Dr. Daud Rasyid Sitorus, MA, Lc, dalam sidang gugatan HTI atas kesewenang-wenangan Pemerintah mencabut SK Badan Hukum  Perkumpulan (BHP)  Kamis (8/2/2018) di Jakarta Timur sangat penting. Menurut peraih gelar doktor dalam bidang syariah di Fakultas Darul ‘Ulum Universitas Kairo tersebut, Khilafah adalah ajaran Islam. Khilafah adalah istilah yang sudah populer sejak zaman Nabi Muhammad saw. Perkara ini (Khilafah) sudah tertuang di dalam hadis-hadisnya dan  itu sampai sekarang bisa dirujuk ke dalam sumber-sumber utama Islam. Sumber utama Islam itu al-Quran al-Karim, Hadis Nabi, Ijmak dan Qiyas. Saksi Ahli ini menegaskan,  jelas Khilafah adalah ajaran Islam. Adapun Hizbut Tahrir Indonesia hanya menyampaikan apa yang menjadi ajaran Islam, yang dilupakan oleh kaum Muslim.

Sebagai bagian dari ajaran Islam, Khilafah jelas bukan merupakan ancaman bagi Indonesia. Justru, Khilafah ingin menjaga dan menyelamatkan negeri Muslim terbesar ini, agar terbebas dari segala bentuk penjajahan yang hingga kini masih menderanya. Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ten + 9 =

Back to top button