Teruslah Bicara Kebenaran!
Muhammad Rahmat Kurnia
Tahun 2018 sudah masuk tahun politik. Terdapat 171 daerah akan menyelenggarakan Pilkada serentak. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018. Tdak mengherankan suhu pun mulai terasa menghangat.
Sepak bola saja bisa digunakan bagi kepentingan politik. Tak lama setelah kemenangan Persija atas PSMS di ajang Piala Presiden 2018, viral video yang menggambarkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dicegah saat akan turun untuk mengucapkan selamat kepada Persija. Respon pun bermacam-macam. Seorang kawan uring-uringan, “Mengapa sih Gubernur DKI Jakarta tidak dipersilakan untuk turun ke lapangan untuk mengucapkan selamat kepada Persija, Jakarta? Tidak fair, tuh.”
Kawan lain menanggapi, “Itu mah iri tanda tak mampu.”
Ada lagi yang menimpali dengan sedikit berargumen, “Menurut UU nomor 2 tahun 2010, Gubernur wajib mendampingi Presiden dalam acara yang diselenggarakan di wilayahnya. Iki ono opo?”
Yang lain berpendapat lain lagi, “Wah nama Pak Anies akan naik nih. Dia ‘kan dizalimi.”
Lepas dari apa yang sebenarnya terjadi, satu pelajaran yang dapat dipetik adalah sepak bola saja dapat dijadikan alat politik. Kejadian di lapangan bola pun dapat dianggap sebagai permainan politik. Hal ini menambah hangatnya suhu politik di tengah masyarakat.
Setelah sebelumnya (Juli 2017) khalayak diramaikan dengan penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur, pada awal Februari 2018 ramai diperbincangan terkait rencana Pemerintah akan mengeluarkan kebijakan menarik zakat 2,5 persen bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Muslim. Kebijakan tersebut akan diperkuat lewat Peraturan Presiden (Perpres). “Sedang dipersiapkan perpres tentang pungutan zakat bagi ASN Muslim. Diberlakukan hanya ASN Muslim/ Kewajiban zakat hanya pada umat Islam,” ujar Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (5/2/2018).
“Dana dari APBD dan APBN masih belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat di berbagai bidang,” tambahnya (7/2/2018).
Potensi zakat PNS dia akui cukup besar, sekitar Rp10 Triliun. “Kalau masalah uang diurus,” ujar seorang kawan kesal.
Ada juga yang menantang, “Bagus juga tuh. Namun, jangan tanggung. Jangan hanya menerapkan syariah Islam yang ada duitnya saja. Terapkan dong secara menyeluruh, kâffah.”
Kondisi ini pun menambah hangatnya suhu perpolitikan. Hal ini wajar belaka. Pasalnya, sebagaimana dirilis oleh Koran Radar Bogor edisi selasa, 14 Juni 2016, terdapat sejumlah Perda yang bernafaskan Islam dihapus. Di antaranya, Instruksi Bupati Lombok Timur No.4/2003 tentang pemotongan gaji PNS/Guru 2,5% setiap bulan. “Kok yang itu dihapus, sekarang malah dibuat Peraturan Presidennya. Dasar politik,” tambah kawan tadi.
Kasus teror dan pembunuhan terhadap ustadz dan ulama menambah panasnya situasi. Sebagaimana diberitakan beberapa media massa, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri (Mama Santiong) menjadi korban penganiayaan usai shalat subuh di masjid. Pelakunya disebutkan sebagai gila. Komando Brigade PP Persis, Ustaz Prawoto, dipukul dengan linggis hingga meninggal dunia. Lagi-lagi, pelakunya disebut gila. “Masa iya komandan brigade, jago bela diri dikejar, digebukin sama orang gila begitu gampang? Ah, inilah orang gila hari ini jago bunuh orang,” Ustadz Bachtiar Nasir mengomentari.
Pengamat intelijen Jaka Setiawan mengatakan bahwa peristiwa ini berpola. Ia menengarai, yang dapat melakukan hal ini adalah intelijen. Barangkali ‘ancaman’ ini merupakan pesan yang hendak disampaikan kepada kelompok tertentu, siapa lagi bila bukan kelompok Islam.
Sejak kasus Pilkada DKI, kelompok massa Islam cukup diperhitungkan. Tidak mengherankan tudingan intoleransi, antikebhinnekaan, radikal dan sebagainya terus didengungkan. Politik belah bambu terus terlihat. Kini kelompok Islam yang menghendaki Islam tegak menghadapi satu tantangan lagi, sebut saja ‘teror psikologis’. Para ustadz dan ulama dibuat takut untuk bicara kebenaran.
Mantan Menteri Sosial, Pak Bachtiar Chamsah, bercerita bagaimana perlunya umat Islam bersatu. Menurut dia, kini tidak sedikit tokoh Islam yang sudah terbeli. Kepentingannya adalah uang dan jabatan. Tegaknya kemuliaan Islam dan kaum Muslim hampir terlupakan. “Karena itu kita perlu bersatu. Kita harus berpegang pada Islam. Tokoh-tokoh Islam perlu menyatukan pandangan. Apalagi, ancaman dari luar amat besar,” tegasnya.
Saya sampaikan kepada beliau, “Bila yang menjadi tujuan adalah kepentingan pribadi atau kelompok, maka homo homini lupus akan benar-benar terjadi. Manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya. Siapa yang besar, sekalipun salah, akan menang. Jadilah, hukum rimba.”
Andai ini terjadi maka kita harus waspada, sebab tanda-tanda kehancuran sudah tampak. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh telah binasa kaum sebelum kalian karena mereka menerapkan hukuman atas orang-orang lemah dan mereka tidak neberapkan hokum itu atas kalangan bangsawan di antara mereka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, bila kepentingan pribadi atau kelompok menjadi panglima maka lidah akan menjadi kelu. Tak lagi dapat bicara kebenaran dengan lantang. Padahal kebenaran itu harus disampaikan. Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahulLâh berkata, “Agama dan kebaikan apalagi yang ada pada seseorang yang melihat larangan-larangan Allah dilanggar, batas-batas-Nya diabaikan, agama-Nya ditinggalkan dan Sunnah Rasul-Nya dibenci. Orang yang hatinya dingin, lisannya diam (dari menyampaikan kebenaran dan mengingkari kemungkaran, pent), dia adalah syaithan akhras (setan bisu dari jenis manusia), sebagaimana orang yang berbicara dengan kebatilan dinamakan syaithân nâthiq (setan yang berbicara dari jenis manusia).”
Jadi, teruslah bicara kebenaran tanpa terpengaruh oleh panasnya kondisi politik yang ada. []