Hiwar

Ahmad Rusydan, Ph.D: Model Pendidikan Barat Maju Tapi Bermasalah

Pengantar Redaksi:

Bagi sebagian orang, termasuk sebagian kaum Muslim, pendidikan model Barat dipandang sangat maju. Namun demikian, kemajuan model pendidikan Barat bukan tanpa masalah. Bahkan sarat masalah.

Apa saja masalahnya? Apa faktor mendasarnya? Bagaimana pula jika dibdandingkan dengan model pendidikan Islam? Apa perbedaan mendasar di antara keduanya? Layakkah model pendidikan Islam menjadi alternatif?

Itulah di antara sejumlah pertanyaan Redaksi kepada Ahmad Rusydan, P.hD, dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut hasil wawancaranya.

 

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa jika ingin pendidikan suatu bangsa maju, contohlah pendidikan model Barat. Benarkah demikian?

Model pendidikan Barat memang relatif lebih diminati karena branding-nya bagus. Lulusannya mudah mendapatkan pekerjaan. Ada kesempatan membangun jejaring (networking). Didukung sarana dan prasarana terkini yang ramah teknologi modern dan kekinian. Model pendidikan Barat mengedepankan pengasahan daya analitik, berpikir kritis dan penggunaan bahasa asing (Inggris) sebagai lingua franca lintas negara.

Namun, model pendidikan Barat juga cenderung membatasi topik spiritual/agama karena dianggap sebagai topik sensitif. Agama juga dianggap sebagai topik yang bersifat individual. Bukan kunci kemajuan peradaban Barat modern. Bahkan sebagian umat Islam juga memilih menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah yang mengadopsi model pendidikan Barat. Mereka ingin menghindari persengketaan penafsiran agama yang dianggap sebagai penghambat kemajuan. Selain itu mereka tentu menginginkan kemudahan untuk mengenyam pendidikan lanjutan dan mendapatkan pekerjaaan sebagai profesional.

Karena itu perlu dipikirkan ulang definisi ‘pendidikan maju’. Apakah pendidikan “maju” itu yang menghasilkan lulusan sesuai harapan bangsa tersebut. Bagi bangsa yang sudah menetapkan jatidirinya sebagai bangsa yang mengadopsi sekularisme, pilihan terhadap pendidikan model Barat tentu merupakan pilihan yang tepat. Hal ini karena sekularisme tidak menjadikan wahyu sebagai bagian dari kehidupan yang perlu dipikirkan. Sekularisme sebagai jiwa model pendidikan Barat memastikan agar agama dan spiritualitas semacamnya tidak menjadi poros utama pendidikan. Agama cukup sebagai pengetahuan dan penunjang pencapaian kesuksesan dunia yang bersifat materialistis.

Namun, bagi bangsa yang masih menganggap bahwa kehidupan wajib berporos pada ketaatan kepada Sang Pencipta, maka model pendidikan Barat menjadi tantangan. Target pembelajaran tidak lagi menyiapkan lulusannya untuk mampu mengintegrasikan agama dalam kesehariannya. Targetnya justru membekali mereka agar mampu membatasi atau memisahkan agama dari kehidupan, juga memastikan agama sebagai sekadar pengetahuan dan nilai etika moral saja.

Kalau kita bicara agama (Islam) akan tampak bahwa Islam tidak hanya mengajarkan moralitas. Islam  juga sistem hukum yang mengatur aktivitas dunia seperti ekonomi, pertahanan, industri dan politik. Misalnya, pengaturan kepemilikan dan distribusi kekayaan tidak bisa diselesaikan dengan moralitas. Ia terkait aturan siapa yang boleh memiliki apa serta kepada siapa dan bagaimana pendistribusiannya. Dalam Islam, pengaturan itu berasal dari wahyu.

 

Apa kekurangan mendasar pendidikan Barat?

Dalam setiap model pendidikan tentu ada kelebihan dan kekurangan. Di samping keuntungan materi, model pendidikan Barat juga memenuhi kebutuhan modern serta gaya hidup yang cenderung pragmatis, yaitu mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. Tentu bagi penganut sekularisme, manfaat ini murni ditinjau dari kacamata manusia. Selama sesama manusia bisa saling bernegosiasi, maka norma tradisional dan spiritual selalu bisa dinegosiasi.

Tidak adanya kesakralan dan ketidakmauan untuk memikirkan nasib seseorang paska kehidupan ini sebenarnya kekurangan yang mendasar bagi mereka. Mereka tidak meyakini adanya kehidupan paska kematian dan pertanggungjawaban di akhirat terhadap apa yang mereka perbuat di dunia. Karena itu apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, standar moralitas dan kebenaran tidak ada yang baku. Hal ini tentu mengganggu bagi mereka yang ingin mendapatkan pendidikan dan pengajaran bagaimana memahami konteks wahyu dan perbuatan manusia.

Bagi umat beragama Islam, model pendidikan Barat ini memunculkan lubang besar di benak generasi mudanya yang piawai dalam teknologi, namun lemah dalam memahami agamanya sendiri.

Selain kekurangan yang mendasar ini, ada juga kekurangan yang mungkin lebih pragmatis. Ini dirasakan oleh sebagian besar rakyat yang tinggal di bawah hegemoni peradaban sekular termasuk model pendidikannya. Ternyata tidak sedikit orang Barat yang  merasakan kekurangan dari model pendidikan Barat (yang an sich terkenal maju). Mereka tidak memiliki cukup uang untuk mengakses biaya mengenyam model pendidikan Barat yang semakin komersil. Ketika kualitas lulusan model ini dianggap bermutu, mudah mendapatkan pekerjaan, maka pendidikan mulai berkembang menjadi komoditas. Hal ini diperburuk dengan adanya perbedaan kualitas standar pendidikan di negara yang sama. Alhasil, lembaga pendidikan berkualitas akan ‘menjual’-nya ke pasar pendidikan dengan harga mahal.

 

Apa faktor mendasar apa yang menyebabkan kekurangan itu?

Kekurangan itu tentu bermuara pada pandangan hidup atau ideologinya, yaitu sekularisme kapitalisme. Pada fase awal lahirnya peradaban kapitalisme, akses pendidikan memang diberikan kepada semua khalayak ramai karena ada kebutuhan tenaga birokrat dan peningkatan literasi sebagai prasyarat masyarakat modern.

Namun, dengan berjalannya waktu, kualitas pendidikan ternyata tidak seragam dan tampak berkorelasi dengan pendanaan. Orang kaya menuntut kualitas pendidikan yang lebih banyak dan itu berarti penambahan tenaga pendidik yang lebih mahal dan pembangunan fasilitas yang lebih mewah dan nyaman. Adapun pendidikan yang diselenggarakan oleh negara juga berdasarkan pemasukan pajak yang bergantung pada pendapatan pajak masing-masing daerah. Daerah yang pendapatan pajaknya tinggi cenderung memiliki lembaga pendidikan yang lebih berkualitas. Artinya, penyelenggaran lembaga dan model pendidikan Barat secara operasional juga bergantung pada akses terhadap kapital. Karena itu tidak aneh ketika terjadi kesenjangan pendapatan, model pendidikan Barat akhirnya hanya bisa diakses oleh mereka yang berkapital besar dan hanya bersirkulasi sesama mereka yang berkapital besar juga.

Jadi pandangan hidup Kapitalisme juga berkontribusi terhadap munculnya pola pendidikan Barat yang cenderung materialistis dan hanya berputar di kalangan tertentu saja.

 

Dalam konteks peja jalan pendidikan, model Barat ini lebih menekankan pada aspek apakah? Apa pula konsekuensinya?

Aspek pendidikan Barat memiliki banyak aspek, tetapi bermuara ujungnya pada aspek keduniaan. Di Amerika model pendidikan Barat banyak menekankan pada kebebasan pengembangan potensi dan bakat individu. Kebebasan adalah kata kunci. Meskipun model tersebut juga mengakui tidak ada kebebasan tanpa batas, model ini menegaskan yang membatasi kebebasan adalah batas kebebasan yang dimiliki manusia lainnya. Artinya, batasan kebebasan adalah kesepakatan manusia yang terikat ruang dan waktu.

Memang tidak bisa dipungkiri, penggalian potensi diri memunculkan keragaman inovasi dalam pemecahan masalah teknis kehidupan. Apalagi ditopang dengan sistem ekonomi kapitalisme. Pendanaan terhadap inovasi yang berpotensi memunculkan sumber pendapatan yang besar akan semakin menguatkan inovasi. Namun, di sisi lain, inovasi yang sebenarnya diperlukan namun tidak menghasilkan pendapatan akan cenderung diabaikan. Tidak heran penelitian dalam ranah pendidikan tinggi juga cenderung diarahkan untuk menyelesaikan masalah di negara kaya, tetapi jarang untuk masalah yang muncul di negeri miskin. Pasalnya, luaran dari penelitian yang tidak bisa menghasilkan uang tidak akan menjadi prioritas.

Aspek spiritualitas memang dibahas, namun dari sisi toleransi sesama manusia. Pasalnya, menurut model pendidikan Barat, spiritualitas tidak bisa diukur secara obyektif capaiannya. Apalagi ketika dikaitkan dengan luaran (output) yang berbasis finansial. Namun, spiritualitas tetap menjadi perhatian sebagai salah satu perekat dalam masyarakat agar bisa meredam konflik. Jadi, spiritualitas memang dibahas sebagai alat, bukan tujuan pendidikan itu sendiri.

 

Dalam pengamatan Bapak, selama mengenyam pendidikan di Barat, bagaimana peran agama dalam pendidikan? Bagaimana konsekuensinya?

Pendidikan di Barat memang sangat menitikberatkan pada kemampuan untuk berpikir kritis, termasuk pada ranah agama. Yang saya rasakan di Barat. Diskusi sangat bebas. Yang penting disepakati saja aturan mainnya, seperti tidak menggunakan kekerasan fisik atau menggunakan kata-kata kotor dalam berdebat. Agama masih dibutuhkan, tetapi harus dilakukan dalam pendidikan informal, yaitu di gereja atau di masjid; seperti Sunday School di gereja atau Islamic Sunday School di masjid. Tentu tidak ada pendidikan agama di sekolah formal karena di Amerika saja ada banyak cabang Kristen. Pemberian porsi pendidikan agama dalam sekolah formal akan dianggap melanggar prinsip pemisahan agama dari negara.

Namun, kebutuhan terhadap agama ini tetap ditekankan sebagai pemuasan kebutuhan individu saja. Agama tidak boleh disyiarkan secara terbuka karena dianggap mengganggu kebebasan orang lain untuk tidak meyakini agama apapun. Selama ajaran agama tidak mengganggu ketenangan umum tidak menjadi masalah.

Karena tidak ada dorongan kuat dari masyarakat, apalagi negara, dalam menekankan pentingnya norma atau nilai berbasis agama, maka banyak generasi muda Muslim yang mulai kehilangan jatidirinya. Aktivitas amar makruf nahi mungkar sebagai salah satu amal terpuji seorang Muslim menjadi sangat terbatas. Kegiatan perilaku menyimpang seperti LGBT di kalangan Muslim sendiri juga mendapatkan ruang dan proteksi karena dianggap sebagai pilihan penafsiran yang merupakan hak asasi setiap manusia.

Orientasi pendidikan Barat yang berporos pada kepentingan manusia memang memungkinkan lahirnya berbagai macam toleransi terhadap penafsiran apapun selama dianggap tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

 

Di sisi lain pendidikan di negeri-negeri Muslim sering dikatakan tertinggal. Apa kira-kira penyebabnya?

Memang akses pendidikan di sebagian negeri-negeri Muslim masih belum terjangkau oleh masyarakat. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Pertama: Pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, akses internet juga belum merata sehingga sarana prasarana pendidikan juga belum optimal. Kedua: keberadaan guru yang berkualitas juga masih menjadi tantangan. Gaya hidup mendorong lulusan pendidikan bekerja di sektor non-pendidikan, karena pendapatan guru tidak setinggi pendapatan eksekutif perbankan misalnya. Padahal tanpa guru yang berkualitas maka pendidikan juga sulit berkualitas. Ketiga: Tidak adanya fokus pada luaran yang hendak dicapai, terutama dari sisi konten kurikulum. Selalu ada tarik-ulur tentang konten kurikulum, materi agama yang seperti apa yang hendak diberikan. Banyak konten pencapaian akademik yang berat di usia muda sehingga terkesan menafikan pembangunan jatidiri yang seyogyanya justru dimulai di usia muda bukan pembebanan materi akademik.

 

Apa hal yang mendasar yang menyebabkan pendidikan di negeri-negeri Muslim terpuruk?

Mungkin ada banyak sebab untuk menjelaskan keterpurukan pendidikan. Pertama: Pendidikan berkualitas menjadi mahal. Munculnya lembaga pendidikan seperti SDIT sebenarnya adalah respon dari ketidakpuasan sebagian masyarakat Muslim itu sendiri dengan kualitas pendidikan yang diselenggarakan negara. Namun, dalam perjalanannya, SDIT semakin berkembang dan tuntutan pasar semakin tinggi. Ironisnya, tidak semua rakyat yang beragama Islam mampu menyekolahkan putra-putrinya ke SDIT yang berkualitas. Alhasil, mayoritas masyarakat terpaksa menyekolahkan di lembaga pendidikan dengan standar pendidikan yang tidak setinggi yang diharapkan.

Kedua: Sistem pendidikan kita masih tanggung, karena beban kurikulum yang terlalu padat dan tampaknya tidak ada skala prioritas. Hal ini karena kurikulum tidak didasarkan oleh visi-misi peradaban. Apa yang sebenarnya diharapkan dari lulusannya. Orientasi lulusan juga masih diukur dari pendapatan setelah mengenyam pendidikan. Porsi pendidikan agama yang semakin menciut juga semakin terpisah dari relevansi kehidupan karena lebih banyak penekanan ke aspek ibadah, bukan ke pembangunan pola pikir yang bisa mengatur pola sikap. Daya pikir kritis yang dibangun dalam sistem pendidikan justru cenderung untuk meragukan agama Islam sebagai solusi kehidupan. Padahal sejatinya Islam membutuhkan generasi muda yang mampu berpikir kritis sehingga mampu menjadikan Islam sebagai solusi keadilan dan kesejahteran, keselamatan dunia dan akhirat.

 

Apa yang paling membedakan pendidikan Barat dan Islam?

Pembeda pendidikan Barat dan Islam adalah visi misinya, prioritasnya dan ukurannya. Dalam pendidikan Barat tidak ada titik tekan kepada Tuhan Sang Pencipta. Hal ini karena pendidikan Barat lahir dari trauma sejarah saat praktik agama menjadi penyebab kemunduran.

Tradisi agama yang tumbuh dalam peradaban Barat tidak banyak membahas aspek kehidupan yang menyangkut aspek non-ritual seperti sistem ekonomi, politik dan kesehatan. Aspek Sang Pencipta bukan menjadi pusat bahasan dalam sistem pendidikan Barat. Yang menjadi titik utamanya adalah kebebasan individu dan bagaimana menegosiasi kebebasan antarindividu agar saling menghormati kebebasan satu dengan lainnya.

Sebaliknya, Islam melahirkan sistem pendidikan dengan titik tekan yang berbeda. Ketaatan kepada Sang Pencipta justru menjadi pokok bahasan. Luaran dari pendidikan Islam melahirkan lulusan yang mampu mengintegrasikan Islam dalam kehidupannya, pola pikir dan pola sikapnya sekaligus. Sistem pendidikan Islam juga tidak berdiri sendiri, namun dibarengi dengan lahirnya sistem kesehatan, politik dan ekonomi. Semuanya bersinergi sehingga apa yang dipelajari di sekolah juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Dalam sejarah keamasan Islam, bagaimana peta jalannya sehingga pendidikan mampu mencetak generasi terbaik pada masanya?

Pendidikan pada masa keemasan tidak berdiri sendiri. Ada sistem ekonomi, sistem kesehatan, sistem politik yang saling berkaitan. Pendidikan sains, misalnya, tidak terpisah dari agama sehingga tidak ada lagi jargon ‘kita butuh sains bukan fatwa’. Kehalalan prosedur kesehatan tidak lagi dibahas secara terpisah. Literatur sains dan filsafat juga terserap ke dalam Bahasa Arab sebagaimana bahasa fikih. Dengan itu para ilmuwan Islam yang juga polymath (menguasai beberapa bidang keilmuan sekaligus) sudah tahu untuk tidak melakukan yang haram atau menggunakan yang haram dalam melakukan eksperimen (tajribah).

Sebaliknya, pada masa modern ini ada kesenjangan bahasa. Bahasa Inggris adalah bahasa sains, sementara bahasa Arab adalah bahasa fikih.

 

Apa yang seharusnya dilakukan agar pendidikan di negeri-negeri Islam kembali menemukan kejayaannya?

Mungkin yang tepat, tujuan pendidikan Islam bukan untuk menjadi ‘jaya’. Kejayaan adalah ‘bonus peradaban’. Bukan tujuan. Saat ini perlu adanya kesadaran kolektif bagi umat untuk menemukan kembali jatidirinya dan membangun generasi yang berpendidikan, terlepas dari keterbatasan yang ada. Umat juga perlu memahami kembali bahwa porsi ‘agama’ dalam mata kuliah ‘agama Islam’ bukan sekadar aktivitas ritual saja. Umat perlu menggali kembali aspek kehidupan non-ritual seperti aspek ekonomi, aspek politik, aspek kesehatan masyarakat yang berbasis pada ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Dalam penggalian tersebut perlu dilakukan upaya yang sistematis dalam model pendidikan sehingga umat mampu mendapatkan pencerahan dari pola pikir generasi Muslim yang pernah berjaya pada masanya. Penekanan ada di pola pikir bukan sekadar informasi nostalgia atau penggunaan kembali teknologi masa lalu.

WalLahu a’lam. []

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven − 8 =

Back to top button