Hiwar: Kiai Symsuddin Ramadhan: Moderasi Agama Berbahaya
Pengantar Redaksi:
Pembaca yang budiman, belum lama ini Menag RI melontarkan wacana bahwa Islam adalah agama yang datang dari Arab. Karena itu, kata dia, Islam harus menghormati budaya lokal di Indonesia. Pertanyaanya: Apa makna sebenarnya dari wacana yang dilontarkan Menag ini? Apa yang melatarbelanginya? Apa pula tujuannya? Adakah wacana ini berkaitan dengan wacana moderasi agama yang makin gencar akhir-akhir ini, yang sekaligus juga menjadi agenda Kemenag RI?Bagaimana pula kaitannya dengan wacana Islam Nusantara? Apakah wacana moderasi agama itu penting ataukah justru berbahaya bagi umat? Bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi semua ini? Itulah di antara sejumlah pertanyaan yang disampaikan oleh Redaksi kepada Kiai Syamsuddin Ramadhan, dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut ini jawaban dan penjelasan beliau.
Kiai, belum lama Menteri Agama RI mengatakan bahwa Islam adalah agama pendatang dari Arab. Bagaimana menurut Kiai?
Statemen tersebut tidak saja keliru dan ceroboh, tetapi juga menyimpan tendensi-tendensi jahat. Islam bukan berasal dari Arab atau berasal dari Nabi Muhammad sebagai salah satu bagian orang Arab. Islam adalah agama yang berasal dari Allah SWT, Penguasa alam semesta dan seisinya. Hal ini bisa dipahami dari QS az-Zumar [39] ayat 1, QS QS Hud [11] ayat 1, dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang berasal dan bersumber dari Allah SWT.
Jika demikian, bagaimana kita mendefinisikan Islam secara tepat?
Ulama mendefinisikan, “Islam adalah agama yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri dan manusia yang lain. Hubungan manusia dengan Penciptanya mencakup perkara-perkara aqidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri mencakup perkara-perkara akhlak, makanan dan pakaian. Adapun hubungan manusia dengan manusia yang lain mencakup perkara-perkara muamalah dan ‘uquubaat.”
Islam adalah jalan keselamatan bagi seluruh manusia. Siapa saja yang tidak memeluk agama Islam, seluruh perbuatannya sia-sia. Demikian sebagaimana yang Allah SWT nyatakan QS Ali Imran [3] ayat 85.
Islam adalah satu-satunya agama dan jalan hidup yang sempurna dan diridahi Allah SWT. Itu yang Allah SWT nyatakan dalam QS al-Maidah [5] ayat 3.
Islam diturunkan Allah SWT untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk bangsa atau kaum tertentu. Nabi Muhammad saw. diutus bukan hanya untuk orang Arab, tetapi untuk seluruh umat manusia. Ini sudah sangat jelas dinyatakan oleh Allah SWT QS Saba’ [34] ayat 28, juga QS al-A’raf [7] ayat 158.
Islam diturunkan Allah SWT untuk mengentaskan manusia dari kekufuran dan adat-istiadat rusak. Bahkan Islam diturunkan untuk mengalahkan semua agama. Demikian yang Allah SWT tegaskan dalam QS ash-Shaff [61] ayat 9.
Karena itu Islam adalah petunjuk dan kebenaran yang seharusnya disambut dengan hangat, dibela dan disebarkan. Sebaliknya, setiap agama, keyakinan adat-istiadat dan budaya yang bertentangan dengan Islam wajib untuk ditinggalkan.
Apakah statemen Menag itu membahayakan?
Benar. Statemen dia ini membahayakan. Pertama, itu bisa bermakna tentang perlunya mempertahankan budaya dan adat-istiadat setempat tanpa memandang apakah ia bertentangan dengan Islam atau tidak. Benar. Budaya dan adat-istiadat setempat yang tidak bertentangan dengan Islam bisa dipertahankan. Misal: sikap gotong-royong, sopan santun, dan lain sebagainya. Namun demikian, keyakinan, tradisi, adat-istiadat dan budaya yang bertentangan dengan Islam harus dijelaskan kesalahan dan pertentangannya dengan Islam. Islam melarang kaum Muslim menyakini dan mempraktikkan adat-istiadat dan budaya semacam ini. Namun demikian, dalam hal keyakinan/agama, pemeluknya dari kalangan non-Muslim tidak akan dan tidak boleh dipaksa agar masuk Islam. Mereka pun tidak akan dipaksa meninggalkan agama, adat-istiadat dan budaya mereka. Hanya saja, sikap menenggang semacam ini tidak boleh menghalangi kaum Muslim untuk terus mengkritik agama/keyakinan dan adat-istiadat orang kafir hingga mereka masuk ke dalam Islam dengan kesadaran sendiri.
Kedua, statemen “Islam harus menghargai budaya yang ada di Indonesia” mengesankan bahwa Islam adalah agama intoleran, anti kerukunan dan hendak memberangus pluralitas. Padahal Islam tidak pernah memiliki persoalan dengan toleransi dan pluralitas. Islam datang dengan seperangkat aturan untuk mengatur keragaman.
Statemen tersebut juga bisa ditafsirkan sebagai upaya menghalangi dakwah Islam. Padahal pengakuan Islam terhadap adanya keragaman agama, budaya dan adat-istiadat tidak berarti Islam melarang umatnya mengkritik dan menyingkap kesalahan dan keburukan agama, adat-istiadat dan budaya di luar Islam. Justru kaum Muslim diperintahkan menyingkap kebatilannya dan menjelaskan kerusakannya dengan hujjah dan argumentasi. Kaum Muslim dilarang berdiam diri terhadap agama, keyakinan, sistem hukum dan adat-istiadat yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Ketiga, Menag menstereotip Islam sebagai agama Arab. Selain salah, propaganda Islam adalah agama Arab merupakan upaya mengokohkan paham nasionalisme, mereduksi Islam dalam lokalitas-lokalitas budaya serta membangun friksi di tubuh kaum Muslim. Padahal seluruh kaum Muslim adalah bersaudara. Kemuliaan tidak ditentukan oleh suku, bangsa dan ras; tetapi oleh ketakwaannya.
Jadi apakah Islam tidak mesti menghormati budaya lokal? Atau bagaimana?
Keragaman budaya, agama dan adat-istiadat merupakan sesuatu yang wajar dan lumrah. Negeri-negeri yang dimasuki pendakwah Islam, pada galibnya memiliki agama, keyakinan dan budaya-budaya lokal. Dalam hal ini, Islam melarang kaum Muslim memaksa penduduk setempat yang non-Muslim masuk ke dalam Islam. Kaum Muslim hanya diperintahkan mendakwahkan Islam kepada mereka dengan hikmah dan argumentasi. Islam juga memerintahkan kaum Muslim untuk menyingkap kesesatan, kekufuran dan penyimpangan agama, adat-istiadat dan budaya lokal yang bertentangan dengan Islam. Kaum Muslim dilarang bermanis muka dan mengakui kebenaran agama di luar Islam.
Adapun adat-istiadat dan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan Islam maka bisa tetap dipertahankan.
Apakah wacana yang dilontarkan Menag ini didesain untuk mendukung kemunculan Islam versi lokal, seperti Islam Nusantara dan Islam Indonesia?
Benar. Wacana seputar Islam versi lokal, seperti Islam Nusantara atau Islam Indonesia, sejatinya untuk memasifkan proyek moderasi Islam. Proyek ini ditujukan untuk mengubah sudut pandang kaum Muslim agar mau menerima prinsip-prinsip demokrasi-sekuler. Islam versi lokal ini, seperti Islam Nusantara, sejatinya adalah Islam moderat dengan wajah baru. Gagasan ini juga ditujukan untuk mengokohkan nasionalisme, untuk mengokohkan budaya setempat, sekaligus menyerang dan menolak dakwah Islam, khususnya dakwah yang menyerukan formalisasi syariah Islam dalam ranah negara dan masyarakat.
Ide ini sangat berbahaya. Selain bisa mengubah sudut pandang dan keberagamaan umat Islam agar mau menerima ajaran-ajaran kunci demokrasi Barat, gagasan ini juga bisa makin mengokohkan eksistensi negara-bangsa. Dengan itu kaum Muslim terpecah-belah dan tetap berada dalam dominasi dan penjajahan Barat.
Apakah ide tersebut merupakan rangkaian dari serangan terhadap Islam?
Benar. Ini adalah serangan untuk menghancurkan inti kekuatan dan pertahanan terakhir kaum Muslim, yakni keterikatan mereka dengan akidah dan syariah Islam. Mereka hendak mencangkokkan “persepsi Islam” ala Barat, yang mau menerima prinsip dan peradaban Barat.
Apakah ini ada kaitannya dengan proyek global untuk kepentingan negara-negara penjajah Barat?
Benar pula. Ini adalah proyek global yang didesain untuk kepentingan negara-negara imperialis Barat. Ini sebagaimana masukan RAND Corporation dalam Building Moderate Muslim Network (2007) bahwa, “Karakteristik Muslim Moderat untuk tujuan studi ini, Muslim moderat adalah mereka yang menyebarluaskan dimensi kunci budaya demokrasi. Ini termasuk dukungan untuk demokrasi dan hak asasi manusia yang diakui secara internasional (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beribadah), penghormatan terhadap keragaman, penerimaan sumber hukum non-sektarian, serta penentangan terhadap terorisme dan bentuk kekerasan tidak sah lainnya.”
Negara-negara mana saja yang telah melakukan proyek ini? Bagaimana bentuknya?
Hampir semua negara di Dunia Islam telah melaksanakan proyek ini. Termasuk Indonesia. Dari sisi aturan, mereka mengesahkan beberapa undang-undang yang ditujukan memberikan payung hukum atas proyek ini. Di Indonesia telah disahkan UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ini merupakan tindak lanjut dari Perppu No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; Penerbitan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010 tentang BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang disahkan tanggal 16 Juli 2010. Perpress Nomor 7 Tahun 2021 yang disahkan pada tanggal 6 Januari 2021 RAN PE (Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme), BRIN, dan undang-undang lain.
Moderasi beragama dijadikan salah satu program prioritas nasional Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dalam Renstra Kementerian Agama tahun 2020-2024, moderasi beragama dan kerukunan umat beragama juga dijadikan salah satu sasaran strategis pembangunan bidang agama yang perlu ditingkatkan. Kementerian Agama memfasilitasi modul moderasi beragama serta menjadikan misi moderasi beragama di setiap aktivitas kegiatan madrasah.
Sosialisasi gagasan ini juga terus dilakukan dengan menggelar berbagai kegiatan dengan tema moderasi agama. Pada tanggal 26 September 2017, diselenggarakan deklarasi anti radikalisme dan terorisme dari seluruh pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia, yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali.
Pada tanggal 1 Mei 2018, diselenggarakan Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Wasatiyyah Islam di Istana Kepresidenan Bogor, yang menghasilkan Bogor Message, yang salah satu butirnya mengokohkan wacana wasathiyyah Islam, dan masih banyak lagi.
Di dunia pendidikan, di era Menteri Agama Fachrul Razi dilakukan revisi 155 buku agama Islam. Mata pelajaran yang dianggap intoleran dan tidak moderat dihapus, atau setidaknya diberi catatan. Mata pelajaran seputar jihad dan perang dipastikan dihapus. Materi Khilafah diberi catatan bahwa Khilafah tak lagi relevan di Indonesia.
Barat juga merangkul kelompok tradisionalis untuk menderaskan arus moderasi Islam. Para Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pun mendukung pemikiran Islam moderat di kalangan umat Islam. KH Ma’ruf Amin pernah menegaskan bahwa ulama bertanggung jawab dalam menjaga NKRI dari rongrongan kelompok radikal kanan dan radikal kiri.
Dari sisi pendanaan, anggaran moderasi beragama lintas direktorat jenderal tahun ini mencapai Rp 3,2 triliun.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar juga mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 304,7 miliar untuk pagu indikatif tahun 2021. Boy mengatakan BNPT sebelumnya telah mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 515,9 miliar untuk 2021.
Siapa saja aktor-aktor yang menjadi pegiat proyek ini?
Tentu aktor di balik proyek ini adalah negara imperialis Barat, dalam hal ini AS dan sekutu-sekutunya. Negara imperialis Barat menyadari, selama ajaran Islam murni masih diyakini dan tumbuh berkembang di tubuh umat Islam, selama itu pula akan terus ada perlawanan terhadap negara kafir imperialis Barat dan kepentingannya di Dunia Islam. Oleh karena itu, Barat menggagas proyek moderasi Islam yang ditujukan untuk mengubah sudut pandang kaum Muslim agar mereka mau menerima ide dan pemikiran Barat, khusus demokrasi dan kebebasan. Sebabnya, Islam moderat adalah kunci penyebaran demokrasi Barat di negeri-negeri Islam.
Selanjutnya, melalui antek-anteknya dari kalangan penguasa kaum Muslim dan organisasi Islam pro-Barat, mereka memasifkan proyek ini di tubuh kaum Muslim dengan cara memberikan dukungan penuh kepada kelompok atau individu yang pro-Barat, serta mempersempit ruang dan gerak kelompok yang melakukan perlawanan terhadap ide-ide kufur Barat. Mereka juga terus berusaha membangun jaringan Islam moderat di seluruh dunia untuk mengimbangi kekuatan jaringan Islam radikal.
Bagaimana modus operandi mereka?
Modus operandi mereka adalah: Pertama, menekan kelompok atau perorangan yang dianggap melawan paham-paham demokrasi-sekuler, serta menyuarakan penerapan syariah dan Khilafah. Menutup akses dan membuat efek traumatik kepada para aktivis-aktivis dakwah dengan cara melakukan penangkapan, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Tindak kekerasan ini diberi payung hukum “memberantas terorisme dan radikalisme beragama”. Tujuannya adalah agar orang-orang yang disasar keluar dari “organisasi radikalnya”, dan membuat masyarakat takut berinteraksi atau memberikan dukungan kepada gerakan-gerakan radikal.
Kedua, mendukung kelompok atau perorangan yang jelas-jelas memberikan dukungan pada proyek moderasi Islam, dengan sejumlah insentif.
Ketiga, menyerang ajaran Islam ortodoks semacam jihad, perang, Khilafah, kafir, qishaash, murtad, thaaghuut, dan lain sebagainya.
Keempat, menyerang pribadi tokoh dan aktivis Islam melalui buzzer-buzzer yang sengaja dipelihara, dan masih banyak lagi.
Lalu bagaimana seharusnya umat Islam bersikap terhadap semua ini?
Umat Islam harus menolak dan melawan ide moderasi Islam, dalam semua bentuknya. Pasalnya, moderasi agama digagas negara imperialis Barat untuk melanggengkan penjajahan di dunia Islam, serta mengubah sudut pandang kaum Muslim agar menerima ajaran demokrasi, sekulerisme dan nasionalisme. Ide ini tidak hanya mengokohkan dominasi dan imperialisasi Barat atas Dunia Islam. Ia juga merusak kesucian dan kemurniaan Islam dan memaksakan pemikiran rusak ke tubuh kaum Muslim.
Apa yang mesti dilakukan?
Pertama, umat Islam harus disadarkan terus akan kewajiban mereka untuk selalu terikat dengan syariah Islam. Syariah Islam adalah standarisasi perbuatan seorang Muslim, bukan toleransi dan moderasi. Keimanan harus diwujudkan dalam bentuk taat, patuh dan menerima sepenuhnya syariah Islam.
Kedua, membongkar makar, tipudaya dan persekongkolan penguasa-penguasa negeri Islam, serta organisasi-organisasi yang mendukung dan terlibat aktif dalam proyek moderasi Islam.
Ketiga, kaum Muslim harus menjauhi kelompok atau perorangan yang jelas-jelas mendukung proyek-proyek Barat seraya menghimpunkan diri ke dalam gerakan atau kelompok yang masih istiqamah menyuarakan syariah dan Khilafah. Kaum Muslim harus berada di dalam atau berkumpul di sekitar kelompok-kelompok Islam seperti ini, serta memberikan dukungan kepada mereka.
Keempat, umat Islam harus memfokuskan dirinya pada perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, dan dijauhkan dari agenda-agenda yang justru melanggengkan dominasi negara kafir imperialis atas negeri-negeri kaum Muslim.
Kelima, para tokoh dan aktivis gerakan Islam harus bersatu dan bahu membahu dalam proyek menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, serta tidak menyibukkan diri dalam agenda-agenda demokrasi. []