Hiwar

KH Yasin Muthohhar: Ramadhan: Madrasah Ketakwaan

Pengantar Redaksi:

Ramadhan adalah madrasah ketakwaan. Apa maksudnya? Bagaimana caranya agar Ramadhan benar-benar menjadi madrasah ketakwaan bagi setiap Muslim? Bagaimana pula agar ketakwaan itu tercermin tak hanya dalam kehidupan pribadi, tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik, pemerintahan, ekonomi, hukum, dll?

Itulah di antara hal yang  ditanyakan kepada KH Yasin Muthohhar, salah seorang ulama Aswaja Tanah Air, dalam wawancara dengan Redaksi kali ini.

 

Kiai, sebetulnya apa saja keutamaan Ramadhan?

Banyak sekali. Di antaranya, semua amal ibadah kita dilipatgandakan. Pahala Ibadah Sunnah jadi sama dengan wajib. Pahala menunaikan kewajiban dilipatkandakan menjadi 70 kali lipat. Sabda Rasulullah saw. , dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, dinyatakan, “Siapa yang ber-taqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan satu macam kebaikan (sunnah) maka sama seperti orang yang menunaikan kewajiban pada bulan selain Ramadhan. Siapa saja yang menunaikan kewajiban pada bulan Ramadhan maka sama seperti orang yang menunaikan 70 kali kewajiban.”

Yang utama, pada bulan Ramadhan terdapat malam yang sangat spesial, Lailatul Qadar. Ibadah kita pada malam itu lebih baik dari ibadah 1000 bulan.

 

Bagaimana menurut pandangan Kiai menyaksikan umat Islam dalam mengisi Ramadhan selama ini?

Kita melihat umat Islam begitu antusias membangun kesalihan individual selama  Ramadhan. Masjid-masjid menjadi penuh dengan orang yang menunaikan shalat, tilawah, zikir dan taklim. Ini patut kita syukuri. Energi umat sangat besar dikerahkan untuk aspek ini.

Namun, di sisi lain kita patut bersedih. Pasalnya, dalam aspek sosial kita melihat perwujudan takwa dan kesalihan masih jarang kita temukan. Kesalihan sosial itu ditunjukan dengan keterikatan pada hukum syariah saat mejalani aktivitas, baik itu terkaitan ekonomi, pergaulan, pendidikan maupun politik. Ini yang masih jarang kita rasakan.

 

Bagaimana bisa terjadi kesenjangan antara kesalihan ritual/individual dengan kesalihan sosial?

Ini tidak bisa dipisahkan dari dua hal: Pertama, pemahaman umat Islam terhadap Islam yang masih parsial, juz’iyyah. Berislam masih dipahami dengan hanya menjalankan ibadah ritual individual, sementara dalam kehidupan komunal masih banyak umat yang tidak terikat dengan Islam. Aspek halal dan haram masih sering dibaikan.

Kedua, kebijakan Pemerintah yang tidak mendukung bahkan cenderung mempersulit—kalau tidak bisa dikatakan melarang—untuk  mewujudkan Islam dalam seluruh lini kehidupan.

 

Sebagaimana dikatakan, kemaksiatan sosial, katakanlah seperti riba, ekonomi yang kapitalistik, pelacuran, perzinaan, dll masih berjalan. Apanya yang salah?

Hemat al-Faqir, kesalahan terbesar terletak pada sistem yang sedang menaungi umat Islam hari ini, yakni sistem kapitalis sekular. Sistem ini menapikan peran agama dalam kehidupan. Manusia dibiarkan beragama sesuai dengan keyakinan masing dalam ranah privat. Namun, di dalam kehidupan ekonomi, sosial, pendidikan, budaya dan politik, syariah islam tidak boleh dijadikan patokan dan tolak ukur. Itulah sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Fashlud din ‘anil hayah). Dengan kata lain, membangun kehidupan tidak berasaskan agama (Islam).

Karena agama “wajib” dipisahkan dari kehidupan, wajar kalau  hari ini urusan kehidupan menjadi kacau. Padahal urusan manusia tidak akan beres kecuali ada aturan Allah SWT, Pencipta manusia. Aturan Allah SWT (syariah Islam) tidak akan bisa berjalan untuk mengurusi urusan manusia kecuali dijalankan oleh lembaga yang memiliki kekuatan untuk memaksa. Itulah pemerintahan Islam. Pemerintahan Islam tentu memerlukan adanya pemimpin Muslim yang menjalankan syariah Islam.

Inilah yang patut kita sadari bersama. Hari ini kita tidak memiliki pemerintahan yang mengatur urusan kehidupan dengan syariah agama kita.

 

Artinya, arus sekularisasi semakin deras, tak terkecuali selama Ramadhan. Termasuk, muncul isu moderasi, toleransi, dll. Mengapa bisa demikian?

Ada dua faktor yang menyebabkan semua itu terjadi. Pertama: Faktor internal umat Islam, yaitu kebodohan umat akan agamanya sendiri. Islam dipahami sebagai agama ritual, bukan sebagai ideologi yang mampu mengurusi kehidupan. Umat Islam juga masih terus disibukkan dengan urusan perbedaan yang ada di tubuh umat.

Kedua: Faktor eksternal, yaitu adanya upaya kelompok di luar Islam untuk menjauhkan umat Islam dari agama mereka. Untuk melancarkan usahanya mereka meminjam tiga kekuatan yang ada di tubuh umat, yaitu penguasa, media dan kaum intelek. Jadi wajar kalau hari ini kita melihat Isu moderasi beragama, toleransi dll semakin menjadi-jadi.

 

Islamophobia juga semakin menguat. Yang benci pada syariah justru sebagian umat Islam sendiri. Mengapa bisa begitu?

Tidak ada yang membenci syariah Islam kecuali musuh Islam. Mereka jelas selalu membenci dan menghalngi hadirnya syariah Islam dalam kehidupan. Yang menjadi masalah, umat Islam sendiri, termasuk kaum intelek dan para pemikir, bahkan ulama,  banyak yang tidak menyadari peperangan yang terus-menerus terjadi antara haq dan batil. Banyak di antara umat ini yang tidak memiliki kesadaran politik hingga akhirnya mereka secara tidak sadar ada di pihak musuh dan diperalat oleh musuh untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Karena itu selain harus memahami dan mendalami ilmu-ilmu syariah, kita harus menyadari keadaan di sekitar kita, siapa lawan kita siapa kawan kita. Jangan sampai kita rame-rame menabuh genderang yang ditabuh oleh musuh. Jangan sampai kita memuluskan jalan bagi musuh untuk menghancurkan Islam.

Sudah saatnya kaum intelektual, ulama dan para tokoh umat merapatkan barisan dan menyamakan agenda perjuangan untuk memenangkan Islam.

 

Marak juga kriminalisasi ulama. Isu radikalisme juga makin kuat mengarah pada Islam dan kaum Muslim. Fenomena apa ini, Kiai?

Saya membaca hal di atas sebagai respon terhadap massifnya dakwah Islam dan makin meningkatnya seruan-seruan Islam ideologis di tengah umat. Dakwah Islam ideologis akan menjadi ancaman bagi kaum kafir dan antek-antek mereka yang dipasang di negeri- negeri kaum Muslim. Mereka tidak akan pernah mengizinkan dakwah Islam mendominasi dan menang di kancah pertarungan. Karena itu mereka akan melakukan berbagai upaya untuk membungkam suara dakwah. Di antaranya, mereka melakukan kriminalisasi terhadap ulama untuk membungkam suara dakwah dan untuk menanamkan rasa takut di kalangan ulama. Harapannya dakwah Islam akan padam.

Begitu juga dengan radikalisme. Isu radikalisme mereka gaungkan untuk membungkamn dakwah yang menyerukan penegakan syariah Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. Kita sama-sama tahu bahwa salah-satu ciri radikal yang mereka propagandakan adalah menyerukan Khilafah.

Namun demikian, umat Islam, apalagi juru dakwah dan ulama, tidak boleh gentar sedikitpun. Kita harus yakin, upaya mereka pasti akan berakhir dengan kegagalan. Kemenangan akan selau berpihak kepada para pejuang kebenaran yang ikhlas, sabar dan istiqamah meniti jalan perjuangan. InnalLâha ma’anâ. Allah pasti bersama kita selama kita bertakwa kepada-Nya.

 

Bagaimana Kiai melihat peluang para pejuangan kebenaran dalam melawan para penyeru kebatilan yang tampak makin kuat akhir-akhir ini?

Memang, kita menyaksikan begitu kuatnya kelompok kebatilan itu. Ini karena mereka didukung oleh negara, media dan kaum intelektual yang sudah tercekoki dan “tokoh agama” yang sudah dibeli.

Sebaliknya, kelompok pejuang kebenaran secara fisik jumlah mereka sedikit. Mereka didominasi oleh kaum mustadh’afîn. Mereka minim dukungan dana dan sarana.

Namun, kalau kita melihat dengan bashirah, dengan mata batin kita, kita akan berkeyakinan bahwa perjuangan menegakan kebenaran sudah sampai pada masa-masa mendekati lahirnya kemenangan. Allah SWT sudah menetapkan sunnah-Nya bahwa bersama satu kesulitan pasti ada dua kemudahan; di balik penindasan kepada pengemban dakwah akan lahir kekuatan. Pertolongan itu akan datang setelah guncangan menimpa orang-orang yang sedang  berjuang? Silakan baca ulang QS al-Baqarah ayat QS Al-Baqarah 214.

 

Apakah kondisi Negara yang sekuler dengan elit politik pendukungnya yang juga sekuler radikal berkontribusi pada semakin jauhnya umat Islam terhadap agamanya?

Ya. Pasti. Ide apapun kalau  didukung oleh negara pasti akan menjadi kuat. Di sinilah letak perbedaan saat ini. Islam tidak didukung oleh keuasaan. Sebaliknya, ide selain Islam didukung oleh kekuasaan. Benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Ali kw., “Al-Haqq bi lâ nizhâm yaghlibuhû al-bâthil  bi nizhâm.”

 

Kembali ke Ramadhan. Sejatinya hakikat Ramadhan itu seperti apa menurut Kiai?

Ramadhan itu madrasah ketakwaan. Goal setting dari ibadah Ramadhan itu adalah menggapai takwa. La’allakum tattaqûn.

Sejatinya ketakwaan itu harus nyata dalam setiap sendi kehidupan kita. Imam Ali kw.  ketika ditanya tentang takwa, beliau menyatakan bahwa takwa itu adalah: al-khawf min al-Jalîl wa al-‘amal bi at-tanzîl wa isti’dâd li yaw mar-rahîl wa al-qanâ’ah bi al-qalîl . Artinya, takwa itu adalah: takut kepada Allah Yang Mahaagung; mengamalkan al-Quran; menyiapkan bekal untuk menghadapi Hari Akhirat; merasa puas dengan pemberian Allah yang sedikit.

 

Lalu bagaimana cara membangun kesalihan yang bukan sekadar ritual, tetapi juga kesalihan dalam aspek sosial, politik, hukum, pemerintahan, dll?

Kesalihan total tidak akan terwujud kecuali jika ada kehidupan Islam. Kehidupan Islam yang maksud adalah menjalankan kehidupan sesuai dengan syariah Islam.

Kehiduan Islam tidak akan terwujud kecuali saat syariah Islam menjadi sumber undang-undang resmi yang diterapakan oleh institusi pemerintahan.

Jadi membangun kesalihan sosial hanya bisa dilakukan dengan membangun sebuah negara yang akan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.

 

Bagaimana caranya membangun totalitas ketaatan, Kiai?

Ketika kita bisa merealisasikan materi tarbiyah ramadhaniyyah, insya Allah ketaatan totalitas itu akan terwujud.  Poin-poin penting dalam madrasah Ramadhan yang harus kita realisasikan adalah: Pertama, Ramadhan mengajarkan murâqabah, yaitu selalu merasa diawasi Allah sehingga akan muncullah rasa takut di dalam diri. Selama sebulan penuh kita dididk untuk menanamkan sifat murâqabah ini.

Kedua, Ramadhan mengajarkan ketundukan mutlak kepada Allah SWT. Karena itu, saat Allah memerintahkan kita berjihad (berperang) di jalan Allah dengan firman-Nya, Kutiba ‘alaykum al-qitâl , misalnya, seharusnya kita menerima perintah tersebut dengan sikap sami’nâ wa atha’nâ. Demikian sebagaimana halnya kita menerima perintah shaum Ramadhan yang diungkapkan dengan firman-Nya, Kutiba ‘alaykum ash-shiyâm.

Ketiga, Ramadhan mengajarkan kita untuk melakukan mujahâdah, bersungguh-sungguh di jalan Allah, meski harus menderita dalam menempuhnya sebagaimana diperagakan oleh kaum beriman saat menjalankan ibadah shaum dan rangkaian ibadah lainnya selama Ramadhan.

Keempat, Ramadhan mengajari kita untuk meyakini janji Allah. Ini sebagaimana orang-orang yang menjalin ibadah selama Ramadhan mereka sangat meyakini akan janji-Nya, bahwa Allah akan membalas ibadah mereka dengan kebahagian dunia dan akhirat.

Kelima, Ramadhan mengajari kita untuk meyakini bahwa akhirat lebih baik daripada dunia. Orang yang berpuasa selama Ramadhan rela kehilangan kenikmatan dan kesenangan dunia demi meraih kenikmatan di akhirat yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat.

Dengan merealisasikan semua itu, insya Allah kita akan menjadi pribadi yang biasa taat secara total kepada Allah SWT. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 4 =

Back to top button