Kebiasaan Baik
ADA orang meninggal dalam keadaan taat kepada Allah SWT. Meninggal saat shalat berjamaah di masjid, saat membaca al-Quran, saat berzikir atau bertobat kepada Allah SWT, saat menghadiri majelis ilmu atau mengajarkan ilmu, saat berdakwah atau berjihad di jalan Allah SWT, dll.
Sebaliknya, banyak orang mati dalam keadaan maksiat kepada Allah SWT. Mati di tempat dugem, di meja judi atau di tempat pelacuran. Mati saat mabuk-mabukkan atau mati karena narkoba. Mati saat menikmati uang hasil korupsi, suap-menyuap atau riba. Mati dalam keadaaan memamerkan aurat atau saat berlenggak-lenggok di atas panggung. Mati dalam keadaan menyakiti orangtua, mengabaikan hak-hak suami/istri atau menzalimi orang lain; dll.
Banyak pula yang mati dalam keadaan menunda-nunda bahkan meninggalkan shalat, lalai dari zikir mengingat Allah SWT, jarang sekali membaca al-Quran. Mati dalam keadaan asyik bermain games, berpesta-pora di tempat-tempat hiburan; dll.
Semua bergantung pada kebiasaan masing-masing saat hidup. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir dan Imam as-Sa’adi serta ulama lainnya rahimahumulLaah: “Anna man ‘aasya ‘alaa syay’[in] maata ‘alayh (Sungguh siapa saja yang hidup di atas suatu kebiasaan tertentu, ia pun akan diwafatkan di atas kebiasaan tersebut.” (Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-’Azhiim, 2/101).
Alhasil, kita boleh saja berharap mati dalam keadaan husnul khaatimah. Namun, pada akhirnya, kita akan mati sesuai dengan kebiasaan kita saat hidup. Apakah saat hidup kita biasa taat kepada Allah SWT? Ataukah saat hidup kita biasa berbuat dosa dan bermaksiat kepada-Nya?
Tentu, di sinilah pentingnya kita selalu memiliki banyak kebiasaan yang baik, yakni kebiasaan-kebiasaan yang mendatangkan pahala. Apa itu? Tidak lain semua kebiasaan yang muaranya adalah ketaatan kepada Allah SWT.
Tentang taat kepada Allah SWT, Malik bin Dinar rahimahulLaah berkata: “Ittakhidz thaa’atalLaah tijaarat[an] ta’tika al-arbaah min ghayri bidhaa’at[in] (Jadikanlah ketaatan kepada Allah sebagai ‘perniagaan [bisnis]’ yang mendatangkan laba [keuntungan] tanpa [harus menjual] barang dagangan).” (Ibnu Hibban, Rawdhah al-’Uqalaa, hlm. 63).
Laba/keuntungan dari “bisnis” dalam bentuk ketaatan kepada Allah SWT ini tidak lain berupa surga yang luasnya seluas langit dan bumi (lihat: QS Ali Imran [3]: 133).
“Bisnis” dalam bentuk ketaatan kepada Allah SWT inilah yang merupakan “bisnis” yang tidak akan pernah merugi sekaligus bakal menyelamatkan pelakunya dari azab yang pedih di akhirat (Lihat: QS ash-Shaff [61]: 10).
Saat seorang Muslim menjadikan taat kepada Allah SWT sebagai kebiasaan baiknya, ia tak akan disibukkan dengan maksiat. Kalaupun dia—sebagai manusia—tak lepas dari dosa, ia selalu berusaha untuk banyak bertobat. Tak pernah menunda-nunda. Maka dari itu, banyak bertobat pun menjadi salah satu kebiasaan baiknya. Dalam hal ini, tentu benar apa yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahulLaah, “Menunda-nunda tobat saat usia muda itu sangat buruk. Jauh lebih buruk lagi menunda-nunda tobat saat usia sudah tua.” (Ibnu Rajab, Lathaa’if al-Ma’aarif, 737).
Tobat adalah salah satu dari upaya menyadari banyaknya kekurangan diri; merasa diri banyak dosa. Hal ini tentu amat penting agar setiap hari seorang Muslim berupaya memperbaiki diri. Jangan sampai, seperti kata Imam Ibnu al-Mubarak rahimahulLaah, “Di antara musibah terbesar bagi seseorang adalah dia tahu kekurangan (aib) dirinya, lalu dia tidak peduli dan tidak bersedih atas kekurangan (aib) dirinya tersebut.” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iimaan, hlm. 867).
Banyak orang sadar atas kekurangan (aib) dirinya, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk mengubah keadaannya. Sadar banyak dosa, tetapi tidak segera bertobat. Sadar memiliki sedikit pahala, tetapi tidak segera melakukan ragam amal shalih. Inilah di antara musibah terbesar yang menimpa seseorang.
Dengan demikian yang diperlukan seseorang bukan sekadar menyadari segala kekurangan (aib) dirinya, tetapi usahanya untuk memperbaiki diri dengan cara: meninggalkan ragam dosa dan maksiat, memperbanyak amal shalih, disertai dengan terus meningkatkan pemahaman agamanya (tafaqquh fii ad-diin).
Penting juga untuk memiliki kebiasan baik lainnya, yakni: tidak menunda-nunda dalam melakukan amal kebaikan. Demikian sebagaimana dikatakan oleh Khalid bin Ma’dan rahimahulLaah, “Saat pintu kebaikan telah terbuka di hadapan salah seorang di antara kalian, segera masuki, karena dia tidak tahu kapan pintu kebaikan tersebut tertutup kembali.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’laam an-Nubalaa’, 4/540).
Karena itu jangan sekali-kali menunda-nunda beramal shalih karena merasa masih banyak kesempatan. Kesempatan itu bisa berupa waktu luang, masa muda, kesehatan, kecukupan harta, dll. Semua kesempatan itu bisa saja sewaktu-waktu hilang dan tak akan kembali lagi. Saat demikian kesempatan untuk beramal shalih berkurang bahkan mungkin hilang sama sekali.
Sebaliknya, segera akhiri segala kebiasaan buruk, termasuk yang sia-sia (tak berguna). Dalam hal ini, kita harus selalu menyadari bahwa, “Di antara tanda Allah berpaling dari hamba-Nya adalah Dia menjadikan dirinya sibuk dalam hal-hal yang tak berguna (sia-sia).” (Ibnu Abdil Barr, At-Tamhiid, hlm. 200).
Hal-hal yang tak berguna (sia-sia) adalah semua perkara yang tidak mendatangkan manfaat di dunia dan pahala di akhirat. Agar Allah SWT tidak berpaling dari diri kita, semua kesia-siaan itu harus ditinggalkan. Apalagi jika di dalamnya mengandung unsur dosa dan kemaksiatan.
Maka dari itu penting untuk mengingat salah satu pesan Imam Ali ra., “Dari sekian banyak kesibukan, cukuplah ketaatan menjadi kesibukanmu (Imam an-Nawawi, Nashaa’ih al-’Ibaad, hlm. 18).
Terakhir, hendaknya kita selalu mengingat nasihat Rasulullah saw., “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa muda (kekuatan)-mu sebelum datang masa tua (kelemahan)-mu; masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu; masa kaya (kecukupan)-mu sebelum datang masa kefakiran (kekurangan)-mu; waktu lapangmu sebelum datang masa sempitmu.” (Al-Mundziri, At-Targhiib wa at-Tarhiib, 2/203).
Alhasil, semoga kita memiliki banyak kebiasaan baik—yakni ragam kebiasaan yang diliputi dengan ketaatan kepada Allah SWT—dan kita bisa istiqamah di dalamnya hingga akhir hayat.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. [ABI]