Muhasabah

Maksiat Distancing

Masyarakat kini terkurung.  Karantina wilayah atau dikenal sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilakukan hampir di seluruh Indonesia.  Semuanya stay at home, work from home, learning at home. Semua aktivitas berpusat di rumah.  Pertemuan para pejabat hingga pertemuan warga tingkat RT pun dilakukan secara daring (online).

Dalam sebuah acara, ada seorang remaja bernama Rendy bertanya kepada saya.  “Kalau dalam pandangan Ustadz, apa pelajaran yang dapat diambil dari musibah virus Covid-19 ini?” Tanya dia antusias.

Saya bilang, tentu tiap orang akan dapat mengambil pelajaran beraneka ragam.  “Satu hal yang menurut saya penting adalah ‘maksiat distancing’,” ungkap saya dengan menggunakan istilah yang barangkali tidak jelas bahasa apa. Indonesia bukan. Inggris pun bukan.  Campur sari.

Namun, justru itu rupanya yang mengundang penasaran Rendy dan penyimak lainnya.  “Apa maksudnya?” dia penasaran.

Saya katakan bahwa saat ini orang-orang takut dan khawatir tertular Corona alias Covid-19.  Takut virus itu menerjang mereka. Mereka pun rela tidak keluar rumah. Melakukan physical distancing dan PSBB. Mudik pun sudah siap ditunda. Padahal itu merupakan agenda besar tahunan.  “Begitulah setiap orang. Jika takut sesuatu, ia akan berupaya untuk menjauhinya sekuat tenaga,” tambah saya.

Ada sebuah pertanyaan, kalau kita bisa melakukan physical distancing, lalu apa gerangan yang menyebabkan kita atau kebanyakan kita tidak berupaya untuk melakukan ‘maksiat distancing’?  Mengapa maksiat tidak kita jauhi sebagaimana kita melakukan physical distancing karena takut virus?  Sudahkah kita mengorbankan berbagai hal demi menjauhi maksiat?  Apakah kita merasa Covid-19 lebih berbahaya dari maksiat yang kita lakukan? Covid-19 tentu harus dijauhi.  Namun, mengapa virus itu saja yang kita jauhi, sementara kemasiatan dibiarkan merajalela dan tetap kita dekati?  WhyLimadza?  Naha? Padahal, akibat maksiat atau durhaka itu sangatlah dahsyat.  Allah SWT berfirman yang maknanya: Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh bagi dia Neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya (TQS al-Jin [72]: 23).

Bahkan di dalam Kitab Al-Jawab al-Kafi, Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyebutkan ada 19 akibat kemaksiatan, termasuk hilangnya keberkahan.

“Wah, benar juga.  Ada hubungannya dengan Ramadhan yang akan segera datang, nih.  Berarti kalau begitu, puasa Ramadhan itu mengajari kita untuk serius dalam melakukan ‘maksiat distancing’.  Iya ‘kan?” Ujar Pak Hasan, pria separuh baya yang dari tadi menyimak.

“Keren juga nih, bapak kita.  Kolotnial rasa millennial,” Rendy mencandai.

“Ya.  Sejatinya kita mengambil pelajaran.  Bila kita punya keinginan, ‘azzam dan niat, niscaya kita bisa melakukan ‘maksiat distancing’ sebagaimana kita melakukan physical distancing,” sambung saya.

“Kalau begitu, yuk kita buat resolusi dalam diri kita untuk menjadikan Ramadhan sebagai momentum ‘maksiat distancing’.  Bagaimana?”  ujar Pak Hasan lagi.

Para pendengar pun serentak bilang, “Mantap!”

“Ada pelajaran lain, Ustadz?” tanya Rendy lagi.  Saya sampaikan, coba lihat, ada aturan tentang PSBB. Semua daerah hingga ke dusun-dusun melakukannya.  Spanduk ‘Di sini sedang lok don’ dalam berbagai variasinya terlihat di banyak gang.   Saat ditetapkan aturan belajar di rumah, kerja dari rumah alias WFH (work from home), dan physical distancing, semua melakukan. Kemana-mana menggunakan masker.  Ketika ada aturan tentang kebiasaan mencuci tangan, di depan warung dan toko segera dipasang air galon dan sabun tangan.   Bahkan shalat berjamaah sampai jumatan saja banyak yang tidak melakukannya demi kesehatan.  Aturan yang diterapkan oleh Pemerintah itu sangat efektif.  Itulah pelajaran yang perlu kita hayati.

Coba bayangkan jika suatu aturan yang diterapkan itu justru mengarah pada kemaksiatan atau mengandung kezaliman.  “Tentu, kemaksiatan dan kezaliman itu akan dengan mudah menyebar, Ustadz,” Pak Tedi menjawab.

“Ohhh …. Ccckkk …. Jelas ya, pemimpin itu sangat menentukan.  Kalau baik pahalanya besar. Kalau buruk siksanya juga pedih,” sahut Pak Hasan.

Saya katakan, memang benar. Rasulullah saw.  bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang Allah serahi amanah untuk memimpin segolongan rakyat, lalu ia tidak memelihara rakyatnya itu dengan menuntut dan memimpin mereka kepada kemaslahatan dunia dan akhirat, melainkan ia tidak akan mencium bau surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sabdanya juga, “Sungguh manusia yang paling dicintai oleh Allah dan paling dekat tempat duduknya pada Hari Kiamat adalah pemimpin yang adil, sedangkan manusia paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempat duduknya adalah pemimpin yang zalim.”

Ya, ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya aturan yang baik dan betapa pentingnya pemimpin yang adil.  “Aturan yang baik tentu aturan yang berasal dari Allah SWT.  Sumber utamanya adalah Kitab Suci al-Quran,” Rendy menanggapi.

“Jangan lupa, Ramadhan pun kata kiai saya mah merupakan Syahrul Quran. Bulan al-Quran diturunkan,”  Pak Hasan segera menambahkan.

Kang Asep yang dari tadi tak bersuara berkata, “Nah, ini juga ada hubungan dengan Ramadhan.  Kita harus sama-sama bertekad menjadikan bulan Ramadhan yang kita jalani ini sebagai momentum untuk berjuang menerapkan hukum al-Quran dan mewujudkan pemimpin yang adil.”

“Satu lagi.  Menurut saya ada yang perlu diwaspadai betul,” kata Om Rendy, begitu ia biasa dipanggil anak-anak.

“Apa itu?”  tanya saya.

Ia segera menjawab, “Saya khawatir, semoga kekhawatiran ini tidak terjadi, Pemerintah nanti berani melarang masyarakat menerapkan hukum Islam.  Sekarang kan shalat jumat bisa dilarang.  Shalat berjamaah bisa dilarang.  Shalat Idul Fitri bisa dilarang.  Kita harus waspadai jangan sampai penguasa nanti akan semaunya melarang penerapan hukum Islam. Sebut saja melarang jilbab, melarang dakwah dengan alasan tidak sertifikasi da’i, dsb.”

“Wah, cerdas juga, Rendy.  Benar, kita harus waspada nih,” Pak Hasan menanggapi.

“Semoga tidak terjadi,” jawab saya.

“Kalau saja itu terjadi, kita harus lawan dunk. Ini kemungkaran,” ungkap Pak Tedy dengan nada tegas.

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk apabila ia bermaksiat kepada Khaliq, bukan begitu Ustadz?” tanyanya.

“Ya.  Mantap,” jawab saya pendek.

WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 + 6 =

Back to top button