Muhasabah

Rawannya Kedaulatan Kesehatan

Di tengah demo penentangan.  Di tengah hiruk-pikuk rakyat disibukkan dengan isu kesesatan Zaitun.  Tok tok tok, RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 11 Juli 2023.  “Apakah Rancangan Undang-Undang Kesehatan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan Maharani (PDIP) sebagai pimpinan rapat paripurna kepada peserta sidang.  “Setuju!” jawab peserta.  Hanya fraksi Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang menolak. Penolakan dari berbagai kalangan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) tidak digubris.

Merespon hal itu, pengamat politik Muslim Arbi (11/7/2023) bereaksi keras. Dia mengatakan, “Jika suara-suara pakar, para akademisi, profesi medis dan nakes meminta kepada DPR untuk menunda pengesahan RUU ini, tetapi RUU ini dipaksakan untuk disahkan, ini berarti demokrasi mati di negeri ini.  Seakan-akan kita ini ada di dalam rimba.”

Direktur Gerakan Perubahan tersebut menambahkan, “Saya menduga ini ada kaitannya dengan covid kemarin. Ini adalah bisnis global, Kapitalisme global.  Ini adalah bentuk kolonisasi baru (new colonialism) dalam capital market.  Kita ini pasar besar. Ada 270 juta penduduk.  Ada bisnis global yang dilegalkan oleh undang-undang.”

Dengan nada keras dia menegaskan, “Pesanan ini undang-undang.  Sama dengan Omni Bus Law tenaga kerja. Negara kita menjadi tidak berdaulat.  Kita menjadi kacung di negeri sendiri.”

Apa yang disampaikan Bang Arbi, begitu saya sapa, diamini oleh Chandra Purna Irawan.  Ketua LBH Pelita Umat itu  menyampaikan, “Di dalam konsideran RUU itu terdapat pernyataan ‘Bahwa pembangunan kesehatan masyarakat semakin terbuka sehingga menciptakan kemandirian dan mendorong perkembangan industri kesehatan nasional pada tingkat regional dan global serta mendorong peningkatan layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kemakmuran yang berkelanjutan’. 

Ini menunjukkan ada perubahan paradigma dari health care menjadi health industry. Ya, kesehatan yang pada awalnya merupakan pelayanan dari penguasa kepada rakyatnya, kini berubah menjadi industri.

Pemerintah diwakili Menteri Kesehatan tampak riang menyambut pengesahan ini. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin  ketika menyampaikan pidato dalam rapat paripurna pengesahan UU Kesehatan di Gedung DPR menyampaikan kegembiraannya, “Setelah gelap terbitlah terang. Setelah hujan badai muncullah pelangi. Setelah pandemi tiba saatnya melakukan transformasi.”

Tujuannya mungkin saja baik. Namun, ada prinsip dasar yang dilepaskan. “Negara melepaskan tanggung jawabnya dalam masalah kesehatan warganya, dan diserahkan kepada industri, kepada swasta,” ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Marokiy.

“Berbeda dengan saat Khilafah tegak. Semua urusan kesehatan masyarakat diurus dan menjadi tanggung jawab negara,” tegasnya.  “Zaman Nabi saw. juga kesehatan menjadi tanggung jawab negara.”

Dulu Nabi saw. pernah dihadiahi dokter atau tabib pribadi.  Namun, beliau menjadikannya sebagai dokter bagi semua rakyat yang membutuhkan,” pungkasnya.

Mungkin saja pelayanan kesehatan menjadi meningkat, namun dilakukan oleh swasta.  “Yang namanya swasta, pasti bisnis dong.  Bayar dong,” kata Deni.

“Peralatan lengkap, tapi swasta.  Yang bisa bayar hanya orang berduit,” tambahnya.

“Mungkin juga dokter tambah banyak dan katanya berkualitas, tapi dokter asing.  Bisnis juga dong.  Tak mungkin murah.  Akhirnya, fasilitas hebat, peralatan canggih, semua pengobatan ada namun hanya dapat dinikmati oleh orang-orang berduit.  Penguasa lepas tanggung jawab,” ucapnya kesal.

Muncul pertanyaan, mengapa hal ini terjadi?  Tampaknya ada pola yang sama dalam pembuatan undang-undang belakangan ini.  Pengesahan Omni Bus Law Kesehatan ini menjadi UU mirip dengan pengesahan Omni Bus Law Cipta Kerja.

Pertama: Pengesahan tampak sangat terburu-buru.  Sekadar contoh, Undang-Undang Kebidanan baru disahkan 3 tahun lalu, pada 2019.  Itu pun setelah para bidan, memperjuangkannya tak kenal lelah selama 15 tahun. Sekarang, baru empat tahun berjalan, Pemerintah melebur UU itu ke dalam satu Omnibus Law, yaitu UU Kesehatan.  Persis mirip dengan pengesahan UU Cipta Kerja.

Kedua: Pembahasan diam-diam.  Draft tidak diketahui publik.  Tahu-tahu disahkan secara cepat.  Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Adib Khumaidi, pada 22 Juni 2023 mengatakan, “Draf yang muncul sampai saat ini kita tidak tahu di dalam proses yang ada, saat kemarin mulai di Panitia Kerja (Panja) DPR RI melakukan pengesahan. Bahkan sampai saat ini tidak ada keterbukaan substansi RUU Kesehatan.”  Namun, dalam waktu kurang dari 20 hari sudah disahkan.

Ketiga: Penentangan diabaikan.  Demo-demo yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan seakan dianggap angin lalu. Respon positifnya nyaris tak terdengar.  Pemerintah dan DPR terus melaju tanpa memperhatikan suara masyarakat.  Meminjam istilah Bang Alfian Tanjung, “Kita bahas di sini dengan argumentasi, sementara mereka melaju saja sesuai dengan yang mereka mau.”

Keempat: Ada yang di-blow up, namun ada yang disembunyikan.  Sebut saja, dikemukakan bahwa teknologi kesehatan yang tertinggal dialihkan menjadi terdepan, dari sistem informasi yang terfragmentasi menjadi terintegrasi, dari tenaga kesehatan yang rentan dikriminalisasi menjadi dilindungi secara khusus, dari pembiayaan yang tidak efisien menjadi transparan dan efektif, dan sebagainya.  Itu kata-kata yang bersayap.  Persoalannya, siapa yang pelaksananya?  Siapa pemiliknya? Lalu siapa yang akan menikmati semua itu?  Siapa yang menjamin kesehatan rakyat secara keseluruhan?  Industri kesehatan?  Persis seperti dalam UU Cipta Kerja.  Sarat dengan kepentingan oligarki.  Mirip dengan Keppres 17/2022 dan Inpres 2/2023, yang diangkat persoalan pelanggaran HAM berat, namun yang dituju adalah penuntasan persoalan Komunisme.  Jadi, mengapa ini terjadi? “Diduga ada kepentingan oligarki dan kepentingan Kapitalisme global,” ungkap Muslim Arbi.

Kalau ini terjadi, bukan sekadar kedaulatan pangan, kedaulatan mineral, yang rawan, namun juga kedaulatan kesehatan.

WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 + 10 =

Back to top button