Takrifat

Larangan Atas Akad Dan Tasharruf

اَلنَّهْيُ عَنِ الْعُقُوْدِ وَالتَّصَرُّفَاتِ

Tasharruf adalah tindakan yang memiliki dampak hukum baik dalam bentuk tasharruf verbal (tasharruf qawliyah) atau tasharruf secara perbuatan (tasharruf fi’liyah).

Tasharruf ada kalanya sempurna terjadi dan dilakukan dengan kehendak satu pihak seperti wakaf, wasiat, talak, dan sebagainya. Secara istilah fikih itu disebut tasharruf. Adakalanya tasharruf itu hanya dapat dilakukan dan terjadi dengan kehendak dua pihak secara timbal-balik. Secara istilah fikih itu disebut akad (‘aqd[un]) seperti jual-beli, ijaarah, sewa-menyewa, wakalah, syirkah dan sebagainya.

Terdapat berbagai larangan dalam nas tentang tasharruf dan akad. Lalu bagaimana pengaruhnya terhadap tasharruf dan akad itu?

Pengaruh syar’i dari larangan tasharruf dan akad adalah membuat tasharruf dan akad itu tidak sah. Sebabnya, larangan itu dapat berkonsekuensi pada adanya sanksi dan dosa di akhirat. Karena itu pengaruh larangan atas tasharruf dan akad itu adalah dalam bentuk pengaruh terhadap status hukum tasharruf dan akad itu yang berkonsekuensi dosa dan siksa di akhirat. Hal itu datang dari status tidak-sahnya tasharruf dan akad. Jadi pengaruh larangan atas tasharruf dan akad itu adalah menjadikan tasharruf dan akad itu tidak sah.

Larangan yang berkonsekuensi siksa di akhirat adalah larangan yang berstatus pengharaman (nahyu at-tahrîm). Hanya larangan yang memberi faedah hukum haram saja yang berpengaruh terhadap tasharruf dan akad. Adapun larangan yang memberi faedah makruh tidak berpengaruh terhadap tasharruf dan akad. Larangan yang demikian tidak menjadikan tasharruf dan akad itu berkonsekuensi dosa sehingga tidak mempengaruhi status hukum tasharruf dan akad. Jadi hanya pengharaman tasharruf dan akad yang membuat tasharruf dan akad itu tidak sah, yaitu bisa batil atau fasid.

Hanya saja pengaruh larangan terhadap tasharruf dan akad itu bergantung pada sisi kembalinya larangan itu. Jika larangan itu tidak merujuk pada tasharruf dan akad itu sendiri, atau tidak merujuk pada sifat yang melakat pada tasharruf dan akad itu, melainkan merujuk pada sesuatu atau aspek di luar tasharruf dan akad itu, maka larangan tersebut tidak berpengaruh. Artinya, tidak membuat tasharruf dan akad itu batil atau fasid. Misalnya, larangan berjual-beli pada saat terdengar azan Jumat. Larangan ini tidak berpengaruh pada jual-beli yang dilakukan itu, sekalipun orang yang melakukan itu berdosa kalau dia termasuk orang yang diwajibkan shalat Jumat. Artinya, jual-belinya itu tetap sah, namun pelaku yang berjual-beli itu berdosa. Larangan ini tidak merujuk pada jual-beli itu sendiri atau sifat yang melekat pada jual-beli, melainkan merujuk pada aspek di luar akad jual-beli, yakni waktu terdengar azan Jumat.

Contoh lain, tasharruf (tindakan) berupa talak terhadap istri yang sedang haid. Talak tersebut sah, sekalipun saat yang sama si suami berdosa. Jadi larangan mentalak istri yang sedang haid tidak mempengaruhi status talak itu. Hal itu karena larangan itu tidak merujuk pada tasharruf-nya itu sendiri, yakni talak, melainkan merujuk pada aspek atau kondisi lain, yaitu kondisi si istri yang sedang haid.

Adapun jika larangan itu merujuk kpada akad atau tasharruf itu sendiri maka tidak diragukan lagi larangan itu berpengaruh pada tasharruf dan akad itu, bisa membuatnya batil atau fasid. Dalil bahwa larangan itu berpengaruh pada tasharruf dan akad dengan membuatnya batil atau fasid adalah sabda Rasul saw.:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan kami maka tertolak (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

 

Lafal radd[un] maknanya adalah mardûd[un] (tertolak) (dalam bentuk mashdar dalam makna maf’ûl), seperti kata khalq yang bermakna makhlûq (yang diciptakan). Maknanya adalah tidak sah dan tidak diterima. Tidak diragukan lagi bahwa yang dilarang itu bukanlah diperintahkan dan bukan bagian dari agama sehingga tertolak. Tidak ada makna keberadaannya sebagai tertolak kecuali batil dan fasad.

Dalil lainnya, para Sahabat telah ber-istidlaal atas fasad dan batilnya akad dengan larangan. Di antaranya, Abdullah bin Umar ra. Ia berdalil atas fasad, yakni batilnya menikahi wanita musyrik dengan firman Allah SWT:

وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ ٢٢١

Janganlah kalian menikahi kaum Wanita musyrik sampai mereka beriman (QS al-Baqarah [2]: 221).

 

Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari Sahabat yang mengingkari perkara ini sehingga merupakan Ijmak Sahabat.

Para Sahabat juga ber-istidlaal atas batilnya akad yang mengandung riba dengan firman Allah SWT: wa dzarû mâ baqiya min ar-ribâ (dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (QS al-Baqarah [2]: 278). Masih banyak kasus lainnya.

Adapun kapan larangan, yakni pengharaman, itu membuat batilnya tasharruf dan akad, dan kapan membuatnya fasad, maka hal itu mengikuti aspek kembalinya larangan itu. Jika larangan itu merujuk pada tasharruf atau akadnya sendiri, yakni pada substansi akad atau pada salah satu rukunnya maka larangan itu membuat tasharruf dan akad itu batil.

Misalnya, bay’ al-hishâh, yakni menjadikan jatuhnya lemparan sebagai jual-beli, yakni berposisi sebagai shighat atau ijab-qabul. Larangan atas bay’ al-hishâh itu merujuk pada ijab-qabul atau shighat yang merupakan salah satu rukun. Dengan demikian bay’ al-hishâh adalah batil.

Contoh lain bay’ al-malâqîh atau bay’ al-janîn, yaitu jual-beli janin hewan yang masih diperut induknya. Larangan atas jual-beli semacam ini merujuk pada obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh) yang merupakan rukun akad. Jadi bay’ al-malâqîh adalah batil.

Contoh lain adalah larangan “lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka (jangan kamu menjual apa yang bukan milikmu).” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi dan an-Nasai). Larangan ini merujuk pada syarat sesuatu yang dijual, yakni obyek akad. Jual-beli itu tidak lain terjadi atas kepemilikan. Karena itu jual-beli apa yang bukan atau belum dimiliki itu seperti bay’ al-ma’dûm (jual beli sesuatu yang tidak ada). Padahal barang yang dijual adalah obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh). Dengan demikian ini seperti jual-beli yang tidak ada obyeknya. Karena itu jual-beli apa yang belum atau bukan dimiliki adalah batil.

Jadi jika larangan itu merujuk pada tasharruf dan akadnya itu sendiri atau merujuk pada salah satu rukunnya maka membuat tasharruf dan akad itu batil. Rukun akad adalah al-‘âqid (orang yang berakad), al-ma’qûd ‘alayh (obyek akad) dan shighat, yakni ijab-qabul.

Adapun jika larangan itu merujuk pada sifat yang melekat pada tasharruf dan akad itu, atau sifat yang berada di luar tasharruf dan akad itu, tetapi menjadi melekat dengannya karena disyaratkan dalam akad. Jika larangan itu demikian maka membuat tasharruf dan akad itu fasid. Misalnya, menghimpun antara dua wanita yang bersaudara karena larangan dalam firman Allah SWT: “wa an tajma’û bayna al-ukhtayni (dan menghimpun di antara dua wanita bersaduara) (QS an-Nisa` [4]: 23). Larangan ini tidak merujuk pada akad nikah atau rukunnya, melainkan merujuk pada sifat yang melekat padanya, yaitu merujuk pada sifat kedua wanita itu yang bersaudara. Nikah dengan masing-masing dari keduanya adalah boleh. Yang dilarang adalah menghimpun keduanya sehingga akadnya menjadi fasid dan bukan batil. Artinya, nikahnya terakadkan, tetapi si suami itu harus (wajib) menceraikan salah satunya. Ini juga berlaku pada Tindakan menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibu atau bapak.

Misal lain, pemindahan kepemilikan baik jual-beli, hibah, hadiah, dsb, dengan syarat tidak boleh dibelanjakan atau digunakan untuk sesuatu tertentu atau tidak boleh dipindahkan lagi kepemilikannya. Akad jual-beli, hibah, hadiah, wasiat dan pemindahan kepemilikan lainnya yang disertai syarat seperti itu menjadi fasid, yakni akad atau tasharruf itu sah, sementara syaratnya batil. Hal itu karena larangan terkait itu adalah larangan dari syarat yang menyalahi syariah, dan itu bukan akad itu sendiri atau rukunnya, melainkan berkaitan dengan sifat yang melekat pada akad dan tasharruf.

Misal lain, akad nikah dengan syarat istri yang lain dicerai karena sabda Rasul saw., “la yahillu an yankiha al-mar`ata bi thalâq ukhrâ (tidak halal menikahi wanita dengan menceraikan yang lainnya).” (HR Ahmad). Demikian pula nikah al-muhallil, yakni nikah dengan syarat setelah itu diceraikan agar wanita itu dapat kembali kepada mantan suaminya yang mentalaknya dengan talak tiga. Hal itu karena penuturan Ibnu Mas’ud ra.: “la’ana RasûlulLâh al-muhilla wa al-muhallala lahu (Rasulullah saw. telah melaknat laki-laki yang menghalalkan dan yang dihalalkan).” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Hanya saja menurut penjelasan para ulama, status fasâd itu tidak dalam semua tasharruf dan akad, melainkan hanya dalam akad pertukaran kompensasi (‘aqdu al-mu’âwadhah) atau akad dan tasharruf pemindahan kepemilikan; seperti akad jual-beli, ijaarah, sewa-menyewa, syirkah, atau hadiah, hibah, wasiat, hawalah, dan sebagainya. Fasâd juga berlaku dalam akad pernikahan, misalnya ketika maharnya tidak disebutkan atau nikah tanpa persetujuan atau izin, yakni dipaksakan terhadap mempelai wanita.

WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yoyok Rudianto]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 4 =

Back to top button