Muhasabah

Jebakan Utang

Teror.  Sering ada orang yang meneror dirinya sendiri.  “Kok bisa?  Bagaimana caranya?” Tanya Pak Wawan kepada saya.

Saya menyampaikan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.” Para sahabat bertanya, “Apakah itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Itulah utang!”  (HR Ahmad dan ath-Thabarani).

Berutang bagi orang yang membutuhkan memang dibolehkan.  Namun, bagaimana pun utang, jika menjadi kebiasaan, akan meneror diri sendiri.  “Lho, kalau begitu, Pemerintah yang gampang pinjam utang sama dengan meneror rakyatnya dong? Ujungnya rakyat yang harus membayar utang tersebut,” ujar Pak Wawan.

Ya, pemimpin yang seperti itu perlu waspada.  Betapa tidak. Rasulullah saw. mendoakan pemimpin yang membebani kehidupan rakyatnya.  Rasulullah saw. pernah berdoa, “Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia.” (HR Muslim).

Di dunia ini, utang akan berdampak pada perilaku pihak yang berutang.  Orang yang biasa berutang akan mudah berdusta dan ingkar janji.  Kok bisa? Dulu, pernah ada seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, betapa seringnya engkau berlindung dari utang?” Beliau pun menjawab, “Sungguh seseorang yang biasa berhutang. Jika dia berbicara, dia akan berdusta. Jika dia berjanji, dia akan ingkar.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

“Ini urusan serius.  Orang yang terbiasa berutang, kata Nabi saw., akan gampang berdusta dan ingkar janji.  Sudah dapat dibayangkan bagaimana kalau ada pejabat pemerintahan yang menyelesaikan urusannya dengan utang.  Dikit-dikit utang, dikit-dikit utang.  Kebayang tuh perilakunya,” kata Pak Wawan lagi.

“Lah, itu yang terjadi sekarang kali, ya.  Banyak hal ditutupi oleh kedustaan.  Barangkali karena gampang membebani rakyat dengan utang,” Pak Wildan berkomentar.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa Cina meminta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai jaminan utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (10/4/2023).

Sejak pencanangan pertama kali pada tahun 2016, banyak pihak yang menentang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tersebut.  Namun, Pemerintah tetap menjalankan proyek tersebut dengan dalih itu adalah business to business.  Konsekuensinya, Pemerintah tidak akan turut menanggung risiko maupun kerugian apa pun.  “Namun, sekarang faktanya berbeda.  Desakan agar APBN menjadi penjamin utang proyek itu menunjukkan bukan business to business lagi,” ujar Pak Wildan.

Lain dulu, lain sekarang.  Dulu yang digunakan adalah perhitungan bisnis. Artinya, Pemerintah tidak memberikan jaminan apapun jika di kemudian hari bermasalah.  Namun, saat ini lain lagi.  Pemerintah didesak untuk menerima tanggungan beban risiko dan kerugian.  “Omongannya jadi tidak dapat dipegang.  Pagi tahu, sore tempe.  Dulu bilang bisnis. Sekarang harus ditanggung APBN,” tambah Pak Wildan.

“Hakikatnya bukan ditanggung Pemerintah, namun ditanggung oleh rakyat.  Toh yang membiayai APBN adalah rakyat,” pungkasnya.

Apa yang dikhawatirkan oleh banyak pihak terjadi.  Saat Pemerintah Cina meminta APBN sebagai jaminan utang proyek. Pemerintah Indonesia menghadapi kesulitan besar.

“Ngomong-ngomong, berapa sih besar proyek tersebut?” Tanya Pak Wawan.

Saya bilang, “Menurut data yang tersebar di media massa, awalnya sebesar US$6,071 miliar.  Lalu, membengkak sebesar US$1,449 miliar (Rp21,735 triliun) sehingga utang menjadi US$7,52 miliar atau setara dengan Rp112,8 triliun.”

Di sisi lain produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2023 diperkirakan tembus Rp 21.000 triliun.  Utang proyek tersebut sebesar 0,5% dari PDB.  “Ingat, ini hanya untuk proyek ini saja,” kata Pak Wildan.

“Coba kalau dibandingkan dengan hutang total.  Pada Januari 2023 utang luar negeri Indonesia menurut Bank Indonesia sebesar US$404,9 miliar atau sekitar Rp6.073 triliun (1US$ = Rp15.000),” tambahnya.

Realitas menunjukkan bahwa tatkala suatu negara tidak mampu bayar maka aset dalam negeri akan diambil oleh negara pemberi hutangan.  Sekadar contoh, pada 2021 Uganda, Afrika Utara terkena jebakan hutang.  Negara itu dikabarkan gagal bayar utang ke Cina terkait pengembangan Bandara Internasional Entebbe, Uganda. Tersebarlah berita bahwa Cina mengambil-alih aset tersebut sekalipun Pemerintah Uganda menepis hal tersebut.  Bayangkan aset vital dikuasai oleh negara asing.

Contoh lain, pada tahun 2017 Srilangka memiliki hutang ke Cina sebesar US$8 miliar.  Karena gagal bayar utang ke Cina, Sri Lanka harus merelakan asetnya tersebut diserahkan ke Cina.  Keputusan tersebut dilakukan dengan menandatangani kontrak untuk melayani perusahaan milik negara Cina selama 99 tahun.

Realitas ini menegaskan bahwa jeratan hutang merupakan alat intervensi bahkan pendudukan negara besar pemberi utang terhadap negara penerima utang.

Hal semacam itu dilarang oleh ajaran Islam.  Dalam QS an-Nisa ayat 141 dinyatakan (yang artinya): Tidak akan pernah Allah menjadikan jalan bagi orang-orang kafir menguasai orang-orang Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Imam Sa’dI dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Allah swt tidak akan menjadikan kaum kafir menguasai kaum Mukmin.  Artinya, haram bagi orang Mukmin menjadikan jalan apapun yang mengakibatkan orang-orang kafir dapat menguasai kaum Mukmin.  Nah, jeratan utang seperti tadi menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Mukmin. Karena itu Islam mengharamkan hal demikian.

Karena itu pula penguasa yang gemar membebani rakyat dengan utang hakikatnya tengah meneror rakyat.  Pada sisi lain, penguasa, sadar atau tidak, sedang menyerahkan negeri Muslim ini kepada negara kafir imperialis.

WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eight + 9 =

Back to top button